Tiga Skenario dan Masa Depan Senjata Nuklir
Oleh Denny JA
NusantaraInsight, Jakarta — Malam itu di Qom, kota suci Syiah, Fatemeh—seorang mahasiswi filsafat Islam—menutup pelan kitab Nahjul Balaghah yang baru saja ia baca. Ini kitab kumpulan renungan dari Ali bin Abi Thalib, Imam pertama dari mazhab Islam Syiah.
Di luar, angin membawa aroma berat dari kilang tua yang telah puluhan tahun menjadi nadi kota.
Ayahnya, seorang dosen Universitas Qom, menyalakan televisi.
Tiba-tiba layar kaca menjadi merah.
“Fordow, Natanz, dan Isfahan telah dibom oleh Amerika Serikat,” ujar pembaca berita dengan suara gemetar.
Kamera beralih ke Presiden Trump, berdiri tegak di podium Gedung Putih. Ia berkata:
“Hari ini, kami telah menghancurkan fasilitas pengembang senjata nuklir Iran. Dunia menjadi lebih aman—tanpa Iran bersenjata nuklir.”
Tangis Fatemeh pecah. Ia tak menangis karena Fordow hancur,
tetapi karena ia teringat perkataan ayahnya:
“Jika dunia terbakar karena fanatisme dan ego,
bukan senjata yang menghancurkan kita—
melainkan kegagalan untuk saling memahami.”
-000-
Ketika sebuah negara adidaya menjatuhkan bom ke jantung ambisi nuklir Iran, sejarah seolah berhenti sejenak.
Lalu dunia membelah ke tiga jalan:
eskalasi, negosiasi, atau kehancuran besar.
Skenario Pertama: Eskalasi Regional Terbatas
(Probabilitas: Sedang–Tinggi)
Iran terpukul, tapi tidak runtuh.
Iran pun membalas secara terbatas. Pangkalan Amerika di Bahrain dan Qatar dihantam drone, rudal meluncur ke utara Israel.
Sirene meraung di Tel Aviv. Iron Dome kembali diuji.
Di Washington, Kongres bertanya:
“Mengapa Presiden Trump menyerang Iran tanpa mandat dari Kongres?”
Namun Trump bergeming. Ia hanya melakukan apa yang juga pernah dilakukan para presiden AS sebelumnya.
Negara-negara Teluk memperkuat pertahanan udara.
Warga sipil mulai bertanya:
Apakah ini awal dari perang panjang yang tak pasti?
Harga minyak melonjak. Selat Hormuz nyaris ditutup.
Dunia kembali menggantungkan harap pada para jenderal
yang nyaris tak mengerti makna kata damai.
-000-
Skenario Kedua: Negosiasi dalam Asap dan Abu
(Probabilitas: Sedang)
Tiga hari setelah ledakan, Iran menahan diri.
Mereka membuka jalur diplomatik diam-diam lewat Oman.
Permintaan mereka sederhana:
jaminan keamanan, pencabutan sanksi, dan pertukaran tahanan.
Amerika Serikat, yang tak ingin terjebak dalam perang panjang,
menanggapi dengan syarat penghentian program nuklir.
Maka lahirlah sesuatu yang langka:
gencatan senjata tanpa nama,
perdamaian tak resmi,
tapi cukup untuk membuat dunia bernapas kembali.