Seandainya Lakkang Jadi Laboratorium Wisata Berkelanjutan (2)

Lakkang
Rusdin Tompo di atas Pincara

Pariwisata Berkelanjutan

Lakkang ini sangat potensial dikembangkan sebagai destinasi wisata. Daya tarik wisata sejarahnya tak cuma terkait dengan bunker Jepang di masa Perang Dunia II dan kemerdekaan Republik Indonesia. Ada sejarah lain, yang melekat dengan nama pulau itu. Secara historis, nama pulau ini, semula adalah Bonto Mallangngere’ (artinya, pendengaran yang tajam dan jeli). Namun, kemudian berubah menggunakan nama Daeng ri Lakkang.

Berdasarkan Buku Nama Rupabumi Unsur Buatan yang disusun Bagian Tata Pemerintahan Setda Kota Makassar, disebutkan bahwa Daeng ri Lakkang ini merupakan nama dari salah seorang saudara Raja Tallo, yang memilih meninggalkan singgasana kekuasaannya dan menetap di pulau. Daeng ri Lakkang terpikat dan kemudian mempersunting seorang wanita yang dipanggil dengan sebutan Tau Sanna Kallumannyang ri Marusu (orang terkaya di Maros).

Bangsawan Tallo itu berjasa melindungi warga dan mengarahkan mereka bermigrasi ke pulau saat terjadi pergolakan, yang dilakukan oleh pasukan Abdul Kahar Muzakkar. Pergolakan oleh pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) ini dapat dipadamkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Warga mengingat peran dan sumbangsih yang diberikan Daeng ri Lakkang. Belakangan, mereka bersepakat menggunakan namanya, sebagai nama pulau ini.

BACA JUGA:  Bonus Demografi: Peluang dan Tantangan Bagi Pemuda Indonesia

Jejak Daeng ri Lakkang dan Tau Sanna Kallumannyang ri Marusu ini masih bisa dijumpai di area pekuburan di Lakkang. Makam dua sejoli ini dicat dengan warna hijau dan diberi atap. Di dalam makam itu, terlihat dua kuburan yang dianggap sebagai tempat dimakamkannya Daeng ri Lakkang dan istri tercintanya, Tau Sanna Kallumannyang ri Marusu.

Boleh dikata, Lakkang ini bila terkelola dengan baik, dapat menyuguhkan paket pariwisata lengkap. Wisata sejarah, wisata budaya, wisata kuliner, juga wisata alam. Sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di sini, sudah digagas konsep eco tourism dan community based tourism. Diskusinya, kala itu, bahkan melibatkan Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Provinsi Sulawesi Selatan.

Dengan jalur jalan yang ada—bila dibenahi lebih baik—bisa digunakan untuk olahraga trekking dengan berkeliling pulau atau ke objek-objek menarik di sana. Bisa pula dengan menggunakan sepeda dari kampus Unhas. Kendaraan ramah lingkungan, seperti skuter listrik dan boogie car, bisa juga diberlakukan di kawasan ini. Pilihan lainnya, pengunjung dan turis bisa mengitari pulau dengan perahu yang sudah dimodifikasi agar lebih menarik dan nyaman.

BACA JUGA:  SKEMA : Buka Puasa LSI Denny J.A

“Kalau ada rombongan passapeda singgah di warung, saya tidak bisa ladeni,” kata Daeng Harnia, terdengar seperti mengeluh.