Saya Menyematkan Sikap Kritis dan Kepedulian pada Nama Anak-Anak

Nama Sri Bintang Pamungkas dan Gemilang Surya Laksana, tak jadi pilihan, setelah melalui suatu proses, yang disarankan seorang teman kerja di Radio Bharata FM. Gemilang Surya Laksana juga jadi alternatif, karena anak saya itu lahir, kurang 5 menit, tepat pukul 12 siang. Sementara nama Gilang Benazir Adinara, secara bebas dapat diartikan sebagai manusia hebat tiada dua.

Teman saya itu, Abd Razak, akrab disapa Yaya, tinggal di Jln Amirullah, Makassar, menyarankan agar saya menulis masing-masing nama itu pada secarik kertas. Nama-nama itu nanti diletakkan pada dahi bayi, sembari dibacakan doa. Sayang, saya sudah lupa bunyi doanya.

Bila nama yang ditaruh di dahi sanggup “dibawa”, maka bayi akan memberi respons senyum. Sebaliknya, kalau dia tidak sanggup membawa nama itu, reaksinya bagai bayi yang akan nangis. Percobaan itu perlu dilakukan beberapa kali, agar lebih yakin.

Singkat cerita, nama Gilang Benazir Adinara, yang akhirnya kami (saya dan istri) pilih. Namun, spirit dan suasana kebatinan pemberian namanya, tak jauh dari suasana politik bangsa kita, kala itu.

BACA JUGA:  Prof. Ahmad Thib Raya Jabat Rektor Unswa Bima

Malam sebelum dia lahir, atau pada 4 Mei, saya sebagai reporter radio meliput peringatan AIDS Candlelight Memorial, yang dihelat KRA-AIDS di Fort Rotterdam. Ini merupakan peringatan malam renungan AIDS pertama di Makassar. Kelompok Relawan Antisipasi (KRA) AIDS ini dipimpin Zulkifly Amin.

***

Anak saya yang kedua, Galang Nuraga Attar Nusantara, lahir 20 Februari 2000, pada awal milenium ketiga. Nama yang berarti, menggalang empati demi keharuman Nusantara ini, juga punya latar peristiwa yang dekat dengan aktivitas saya. Saat dia lahir, saya sudah di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan.

Galang lahir saat fajar. Sehari sebelumnya, saya punya janji wawancara tentang penanganan pengungsi anak dengan Radio Al-Ikhwan FM, yang saat itu mungudara dalam format baru. Karena sibuk mengurus anak saya yang baru lahir, saya tak jadi ke studionya di Jalan Sunu. Wawancara diputuskan hanya by telepon.

Pagi itu juga saya ke kantor LPA di Jln Andi Tonro No 11. LPA, ketika itu, menangani anak-anak korban konflik. Anak-anak korban kerusuhan Maluku, di antaranya ada yang ditampung di Kodam VII/Wirabuana, sekarang Kodam XIV/Hasanuddin. LPA juga menangani anak-anak refugee, pasca lepasnya Timor Timur dari Republik Indonesia.

BACA JUGA:  Kartini 4.0: Empowerment atau Eksploitasi?

Setelah wawancara rampung, saya mencari kuali tanah liat (tembikar), tempat menaruh campugi (ari-ari bayi). Kemudian pulang ke rumah, mengurus ari-ari itu. Ari-arinya setelah selesai dibersihkan dan ditaruh dalam tembikar, saya sertakan pula pensil di dalamnya. Saya bawa ke arah Jembatan Kambara, lalu dihanyutkan di sungai Jekneberang, Kabupaten Gowa. Dalam pandangan tradisi Makassar, yang dilakukan ini maksudnya supaya kelak si anak punya wawasan yang luas.