Akhirnya, adat pun menyesuaikan diri. Kombongan Kalua’ memutuskan: padi gadu ditanam Januari dan dipanen April-Mei, padi rendengan ditanam Juni dan dipanen Oktober-November. Dua musim panen, dua sumber kehidupan.
Setiap proses bercocok tanam diiringi Aluk Bokbo—ritual sakral yang mengawal padi sejak benih hingga panen syukur. Ada Mangkaro Kalo’ untuk membersihkan saluran air, Ma’tanda Panta’nakan untuk menyiapkan tanah, Mak Sanda Wai untuk memohon air, Ma’pakalobo untuk meminta bulir panjang dan padat, hingga Kendek Langan Buntu, pesta syukur yang meriah. Semua dilakukan bersama, dengan doa dan rasa hormat pada leluhur.
To Misak Panggimpi: Perang yang Lahir dari Mimpi yang Sama
Tahun 1680, langit Toraja diliputi awan gelap. Pasukan Bone di bawah Arung Palakka masuk ke tanah ini, membawa budaya dan kuasa yang mengganggu tatanan. Bersama tokoh lokal bernama Pakila’ Allo, mereka menebar ketakutan. Sebuah bendungan dibangun untuk memelihara buaya, dan bayi yang baru lahir dijadikan santapan.
Hati masyarakat berguncang. Tahun 1685, Lamangga’ memanggil para pemimpin adat dari berbagai penjuru: dari Boko, Tambunan, Limbu, hingga Makale. Mereka bertemu di Mangayo, dan satu demi satu menceritakan mimpinya. Aneh tapi nyata—semua mimpi sama: bersatu untuk mengusir pasukan Arung Palakka.
Rencana lahir: mereka akan menyamar dalam pasar malam di Manggayo. Saat tanda obor di Gunung Parimata dinyalakan, ijuk yang membungkus kuda dibakar, lapak pasar diserang, dan pertempuran pecah. Orang-orang Bone kocar-kacir. Dari kemenangan itu lahir semboyan:
“Misa’ Kada Di Potuo, Pantan Kada Dipomate” – bersatu kita hidup, tercerai kita mati.
Basse Malua’ dan Pohon Cendana Perdamaian
Setelah perang, darah tak lagi mengalir. Basse Malua’—perjanjian damai—dibuat di Rura-Mengkendek. Seekor kerbau bertanduk “tekken langi” disembelih. Satu tanduk menghadap langit, satu lagi ke bumi—simbol bahwa niat baik akan membawa rezeki, niat buruk akan membawa celaka.
Sebagai tanda perdamaian, ditanam pohon cendana di padang Rura-Mengkendek. Sejak itu, orang Bone dan Toraja hidup berdampingan, berbagi tanah, adat, dan cerita di bawah langit Lepongan Bulan.
Catatan Penutup
“Literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tetapi juga menyimpan dan menghidupkan kembali suara masa lalu. Mengangkat cerita rakyat dari daerah sendiri berarti meneguhkan identitas, menjaga akar budaya, dan memberi generasi mendatang cermin untuk mengenali siapa mereka. Pata’padang bukan sekadar tempat di peta—ia adalah kisah, nilai, dan kebanggaan yang harus diwariskan.”
— Dr. Dirk Sandarupa, M.Hum., MCE