Ini bukan sekadar kekhilafan. Ini tindakan sadar, dengan motif tertentu, dan dengan konsekuensi moral serta hukum yang tidak bisa dianggap ringan.
Sebagai seorang dosen hukum, ia tentu memahami bahwa gelar akademik memiliki prosedur ketat dan standar nasional yang tidak bisa dimanipulasi.
Ia juga tahu bahwa memberikan keterangan palsu dalam proses penyidikan dapat berimplikasi pidana. Semengtara Terlapor akan menerima resikonya. Namun ia tetap melakukannya. Mengapa? Jawabannya mulai terkuak ketika rangkaian kejadian berikutnya diperhatikan dengan lebih teliti.
Dalam perkara yang ia laporkan, pelapor ini bukan sekadar ingin mencari keadilan. Ada indikasi kuat bahwa ia memiliki niat tersembunyi, yaitu meminta uang damai dengan jumlah yang sangat tidak wajar kepada pihak yang dilaporkan.
Tawaran itu disampaikan dengan pola komunikasi yang mengarah pada intimidasi halus: bahwa pencabutan laporan bisa saja dilakukan, asalkan nominal tertentu dipenuhi. Nilai yang diminta fantastis—jauh melampaui akal sehat, dan jelas bukan bagian dari proses hukum yang benar.
Di sinilah benang merahnya mulai terlihat. Gelar profesor palsu yang ia pakai dalam BAP dapat dibaca sebagai strategi untuk meningkatkan posisi tawar dan menambah tekanan moral kepada lawan.
Dengan memakai gelar tinggi, ia ingin tampil sebagai figur berotoritas, terpelajar, dan sulit untuk dibantah. Di hadapan aparat penegak hukum, ia berharap wibawa palsu itu membuat keterangannya terlihat lebih kredibel.
Padahal, semua itu hanyalah ilusi.
Sangat disayangkan bahwa manipulasi gelar ini dilakukan oleh seseorang yang sehari-hari mengajarkan etika hukum, asas kecermatan, kejujuran, serta objektivitas dalam proses peradilan.
Ia mengutip pasal demi pasal dalam kelas, mengajarkan mahasiswa mengenai kesucian sumpah, tetapi ia sendiri mengingkari sumpah itu ketika berada di meja pemeriksaan. Ia menjadi contoh buruk dari apa yang disebut orang sebagai intellectual dishonesty—ketidakjujuran intelektual yang merusak harkat profesi dosen.
Lebih jauh, manipulasi gelar demi kepentingan pribadi dan ancaman terselubung berupa “nilai damai yang tidak wajar” menunjukkan bahwa laporannya bukan murni permintaan keadilan. Ia menjadikan proses hukum sebagai alat tawar-menawar.
Dalam teori hukum, perilaku seperti ini sudah masuk wilayah abuse of process, yakni penyalahgunaan proses hukum untuk kepentingan ekonomi.
Ketika seseorang menggunakan identitas palsu untuk memperkuat tekanan, tindakan itu bukan hanya mencoreng dirinya sendiri, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan dan lembaga hukum.







br






