Termasuk di sana, ada rumah seorang haji. Dia sudah tiga kali naik haji dan tiga kali juga kawin. Semua orang di Perumnas Balaroa, termasuk pegawai kantor, tahu. Lantaran amalnya kurang baik dengan orang, kasih jalan-jalankan (gandakan) uang, rumahnya pun dijungkir balik. Itu kekuasaan Allah. Itu Allah punya kekuasaan. Dia putar isi rumah ke dalam tanah. Fondasi rumah di atas. Dia balik. Dia putar. Dia kasih jalan-jalan uang, dikasih putar rumahnya.
Habis keseluruhannya. Tiga puluh tahun Agus tinggal di Balaroa, tidak ada apa-apa yang terselamatkan. Hanya duka dan sisa-sisa puing itu yang dia dapatkan. Biar mobil juga tidak tahu di mana bangkainya. Anak-anaknya semua tewas dipanggang api. Anak empat, cucu tiga, dan keponakan, berikut istri yang luka parah. Anak sulung Agus dengan anaknya tidak tertolong. Kini Agus hidup bagaikan dua sejoli dalam balutan duka yang mendalam tanpa anak. Anak kandungnya yang terakhir, sudah duduk di kelas 6 SD.
Penduduk Kelurahan Balaroa Kecamatan Palu Barat ini, 24.000 jiwa di luar pendatang. Termasuk tiga belas TPS yang berhak memilih saat pemilu. Balaroa adalah perumahan BTN pertama di Palu.
Perumnas Balaroa ini termasuk kawasan permukiman yang sangat ramai. Selain bangunan seragam Perumnas, juga ada rumah yang kecil-kecil. Konon kabarnya tersiar berita, banyak juga orang penting di Palu punya ..ah.. di permukiman ini. Lain ceritanya dengan yang di Petobo, yang dikenal sebagai daerah perjudian.
“Satu padepokan, rupanya,” kata salah seorang warga Palu.
Gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi ini seperti meminta korban yang selektif. Meskipun bangunan di beberapa bagian Kota Palu juga merasakan gempa, kerusakannya tidak separah yang di dekat pantai, Balaroa, Petobo, Jono Oge, dan Sibalaya di Kabupaten Sigi. Tuhan agaknya sangat adil dan selektif memilih hamba-Nya yang layak dapat murka.
Korban yang di pantai tak terhitung. Masjid terapung di depan kota Palu, miring diterjang tsunami. Kini tempat ibadah itu jadi sarang binatang laut. Pada saat air pasang, tubuh masjid hampir separuh tenggelam ke dalam air.
Kapal Sabuk Nusantara di Pelabuhan Pantoloan Donggala parkir di antara dua bangunan. Untung kapal itu sudah “dilautkan” kembali dan melanjutkan tugasnya mengantarpulaukan penumpang dan barang. Untung juga saat “mendarat”, Sabuk Nusantara 39 tidak oleng dan miring. Kalau saja miring kiri atau kanan, bangunan di sampingnya jadi korban baru pascatsunami.
Mujur, kapal PT Pelni ini tetap tegak, sehingga tidak menimpa bangunan di kiri atau kanannya. Semula saya kira Sabuk Nusantara 39 akan jadi monumen tsunami. Belakangan saya tahu, kapal tersebut sudah kembali ke “habitat”-nya. (Bersambung).