*Ritus Kebangru’an*
Akeu selanjutnya mengelaborasi sebuah tradisi yang disebut _kebangru’an_ . Tradisi ini memiliki makna spiritual. Masyarakatnya menghayati bahwa melalui kebangru’an mereka dapat berkomunikasi dengan leluhur. Tradisi ini melibatkan musik dan tarian yang diyakini dapat memanggil roh leluhur untuk menerima pesan penting atau pun penyembuhan.
_Bangru_ dalam bahasa Sasak berarti orang yang mengalami kesurupan. Kesurupan adalah ekspresi kekacauan yang dipengaruhi gangguan pada pikiran manusia sehingga ia tidak mengerti apa yang ia katakan atau ia lakukan.
Seseorang yang kesurupan tidak bisa menghubungkan perkataannya, antara yang telah ia katakan, dan yang akan ia ucapkan. Orang tersbut juga menderita hilang ingatan akibat gangguan pada saraf (otak). Hilangnya ingatan ini juga disertai pula dengan ketimpangan dalam gerakan sehingga ia tidak mampu mengendalikan gerakannya (Yuga Anggana, 2023: hal. 35).
“Prosesi ritus _kebangru’an_ merupakan sebuah prosesi penyembuhan bagi orang yang mengalami kesurupan, yang diyakini masyarakat sebagai akibat dari adanya kekuatan dari makhluk yang tidak terlihat yang menguasai pikiran dan tubuh, “ ujar Yuga (Rabu, 30/07).
Masyarakat Kecamatan Pringgabaya memiliki pandangan bahwa pada fenomena _kebangru’an_ , sosok yang merasuki tubuh seseorang merupakan roh leluhur yang hendak memberikan petunjuk-petunjuk tertentu yang mengarah pada kebaikan bagi kehidupan masyarakat.
Akeu pun menyadari bahwa masyarakat Pringgabaya menyakini hal-hal gaib sejak dari dulu. Hal ini pun dibuktikan dengan ditemukannya nekara di tahun 1999. Nekara dianggap sebagai benda pusaka yang sakral, yang kerap digunakan dalam ritual keagamaan orang terdahulu.
Pandangan tersebut berasal dari keyakinan kuno kepercayaan animisme dan dinamisme. Hingga kini—setelah masuknya berbagai agama dan kepercayaan lain—ritus _kebangru’an_ masih tetap ada dan dilaksanakan oleh masyarakat, (bahkan para penggiatnya membentuk wadah khusus berbadan hukum dalam upaya melestarikan kesenian yang terkandung dalam prosesi ritus kebangru’an tersebut).
Selain sesaji dan serangkaian ritual pada prosesi ritus _kebangru’an_ , unsur seni menjadi hal utama lainnya (Yuga Anggana, 2023: hal. 18).
Seni yang dimaksud adalah permainan musik dan tarian. Musik pengiring ritual dikenal dengan sebutan musik _kebangru’an_ . Selain sebagai bagian dari ritus _kebangru’an_ , musik _kebangru’an_ secara terpisah memiliki fungsi tersendiri bagi masyarakat Desa Telaga Waru.
Pada upacara pernikahan atau kemeriahan lainnya, musik _kebangru’an_ bertransformasi menjadi musik yang berfungsi sebagai seni hiburan. Selain itu, musik kebangru’an kerap menjadi unsur utama dalam gelaran ritual adat lainnya, seperti ruwatan mata air Mualan Benyer, atau pernikahan.