Dalam banyak kisah mereka yang pernah menjalani tahanan, terutama para wartawan, yang kemudian tertuang di dalam buku tentang kehidupan tahanan, APH kerap menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan saat seorang tahanan berada di balik jeruji besi. Bahkan tindak asusila terjadi di balik jeruji besi. Malah yang sangat mengagetkan, ada seorang oknum jaksa mampir di rumah salah seorang temannya yang pernah ditahan itu dan menulis buku dengan membawa satu bungkus ganja. Dia pun minta izin menikmati satu linting barang haram itu. Ketika ditanya soal kemungkinan ditangkap, oknum itu dengan enteng berkata, “siapa yang berani menangkap jaksa”. (Baca: “Bisnis Seks di Balik Jeruji Besi”, karya Ahmad Taufik, wartawan Majalah Tempo). Pemeriksaan dan interogasi yang memakan waktu berjam-jam merupakan salah satu cara untuk melemahkan daya tahan seorang tahanan yang ujung-ujungnya menyerah dan pasrah. Begitulah potret buram penegakan hukum di republik ini.
Kecurigaan lain, pihak Polres Bima Kota juga melarang wartawan menemui Badai NTB dengan beragam alasan. Perintangan ini sebenarnya menambah banyak kecurigaan publik terhadap kasus ini, khususnya terkait dengan informasi mengenai kondisi Badai NTB yang dilaporkan mengalami “depresi”. Melalui informasi-informasi negatif terhadap diri Badai NTB diharapkan akan berpengaruh kepada para pendukungnya dengan beraneka respon. Yang diinginkan, jelas berkurangnya pendukung wanita berani ini. Jika ini terjadi, pihak berkepentingan di daerah ini berada di atas angin dalam pemberantasan penggunaan narkoba di daerah ini. Pada sisi lain akan membiarkan merajalelanya penyalahgunaan narkoba di Kabupaten/Kota Bima dan Dompu.
Jika dilihat dari UU Pokok Pers No,40/1999, pihak yang sengaja menghalang-halangi pekerjaan wartawan dapat dikenakan denda Rp 500 juta. Apalagi, objek yang hendak diliput, bukan termasuk objek informasi yang dikecualikan sesuai UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Jika dinilai akan mengganggu proses penegakan hukum sebagai salah satu informasi yang dikecualikan, rasanya tidak. Sebab, wartawan hanya ingin memastikan informasi mengenai keadaan Badai NTB tidak seperti yang banyak beredar dan datang dari satu arah, yakni pihak polisi, dengan cara wartawan hendak melakukan konfirmasi dan verifikasi sebagaimana dituntut oleh Kode Etik Jurnalisti.
Soal ‘depresi’ yang dihadapi Badai NTB, boleh jadi karena kemerdekaannya selama di luar ruang tahanan sudah hilang. Telepon atau gawai dilarang. Polpen juga dilarang. Hanya satu yang merdeka, berpikir. Itu pun tidak bisa berjalan mulus karena sangat terpengaruh oleh kondisi psikologisnya di ruang tahanan.