NusantaraInsight, Makassar — Jika membaca berita yang dimuat berbagai media online di Kota dan Kabupaten Bima dengan sumber kepolisian setempat, ada sejumlah informasi yang menimbulkan tanda tanya dan perlu memperoleh penjelasan dari sudut penalaran.
Informasi pertama yang termuat di dalam berita itu menurut laporan polisi adalah Badai NTB menganiaya sahabatnya sendiri. Kedua, kegiatan “trauma healing” (proses penyembuhan trauma/psikologis). Ketiga, tidak mau makan, menendang jeruji ruang tahanan. Keempat, meminta pulpen. Kelima, melarang wartawan untuk mengecek keadaan Badai NTB sebagai upaya untuk mengonfirmasi informasi yang beredar di Masyarakat. Keenam, Badai NTB mengalami ‘depresi”. Ketujuh, pihak penyidik hendak melakukan tes urine.
Ketujuh informasi tersebut merupakan bukti forensik kebahasaan yang menimbulkan kecurigaan besar dari publik. Bukti kebahasaan dapat dianalisis dengan menggunakan linguistik forensik (yang berkaitan dengan hukum) dan “critical discourse analysis” (CDA) – analisis wacana kritis (AWK) dengan segala unsur relasionalitasnya.
Badai NTB adalah perempuan kelahiran Ngali Kecamatan Belo Kabupaten Bima yang akhir-akhir ini giat membantu Kepolisian Republik Indonesia memobilisasi dukungan masyarakat Kabupaten/Kota Bima dan Dompu untuk memerangi penyalahgunaan narkoba di daerah itu. Dia melalui akun media sosialnya, setelah melakukan investigasi, merilis sejumlah “kelompok terbang” (kloter), istilah yang dia berikan untuk mengelompokkan sejumlah oknum dalam kaitan dengan peredaran narkoba di Kabupaten/Kota Bima dan Dompu. Di dalam “kloter-kloter” tersebut, terpampang foto dan nama sejumlah oknum. Mulai dari oknum polisi, anggota DPRD, pengusaha, dan sebagainya.
Salah seorang yang tersebut di dalam “kloter” tersebut pernah melaporkan Badai NTB ke Polres Bima, namun kemudian tidak berkelanjutan. Kuat dugaan, laporan itu urung dilanjutkan karena yang bersangkutan adalah pasangan dari salah seorang oknum aparat yang juga namanya tercatat di dalam “kloter-kloter” itu. Kuat dugaan, pihak Polres Bima berpikir keras menuntut Badai NTB dengan langkahnya mengganyang narkoba karena banyak oknum yang diduga terlibat dalam bisnis haram ini. Setelah rilis “kloter” tersebut, Badai NTB yang laporannya sudah sampai ke Mabes Polri, sejumlah oknum yang terkait dengan “kloter” ini telah dimutasi ke posisi lain.
Lantaran sulit menjerat Badai NTB dengan kasus yang sedang diperjuangkannya, pihak Polres Bima Kota menerima laporan seorang bernama Marhaen alias Rara yang melaporkan bahwa alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan atlet pencak silat itu telah melakukan penganiayaan dan perusakan terhadap pelapor. Atas kejadian ini Polres Bima Kota mengenakan Badai NTB dengan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 tahun 8 bulan. Dengan masa hukuman seperti ini, sesuai KUHAP tidak perlu ditahan, kecuali karena alasan objektif dan subjektif pihak penyidik. Alasan subjektif beralasan, Badai NTB ditahan karena dikhawatirkan akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatannya. Jadi ini bersifat delik aduan atau mungkin juga bisa menjadi delik biasa atas prakarsa aparat penegak hukum jika mengetahui adanya tindak pidana.
Sahabat Dianiaya, Mungkinkah?
Informasi penahan Badai NTB di Polsek Rasanae Bima, memicu perhatian banyak pihak. Di balik penahanan itu selain sangat menaruh perhatian pembaca, sekaligus menyimpan tanda tanya besar. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah:
Pertama, mengapa pihak penyidik memaksakan terlapor (Badai NTB) ditahan, sementara sesuai KUHP dengan masa hukuman yang sesuai pasal 351 tidak perlu ditahan. Penyidik kemudian mengajukan alasan subjektif yang tentu saja berlebihan.
Kedua, mengapa pihak Polres Bima Kota tidak menempuh “restorative justice” (keadilan restoratif) yang sudah sangat galib ditempuh terhadap tindak pidana ringan (tipiring) seperti ini.
Keputusan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentangan penanganan “Restorative Justice” (keadilan restoratif), khususnya pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Dalam hal ini penyidik dapat melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan pihak terkait lainnya untuk mencapai penyelesaian yang adil dan memulihkan.