Strategi “Pasir Hisap” Israel

Oleh Aslam Katutu

NusantaraInsight, Makassar — Fenomena pasir hisap (quicksand) adalah kondisi di mana campuran pasir, air, dan tanah liat menjadi jenuh air dan kehilangan kekuatan struktur. Saat seseorang menginjaknya, permukaannya tampak padat, tapi justru akan melemah dan membuat tubuh terperosok.

Semakin orang bergerak untuk keluar, semakin besar tekanan yang diberikan, dan semakin ia tenggelam. Ini karena pasir hisap bersifat non-newtonian—resistensinya meningkat saat diberi tekanan cepat.

Intinya: makin melawan, makin tenggelam. Untuk keluar, diperlukan gerakan perlahan dan hati-hati agar air dan partikel bisa mengendap dan permukaan mengeras kembali.

Dalam konteks geopolitik, “pasir hisap” adalah metafora bagi strategi yang menjebak lawan agar bereaksi impulsif, lalu terseret dalam konflik yang makin melemahkan posisi mereka sendiri.

Quicksand by Israel

Dalam konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina, berbagai strategi militer, politik, dan psikologis telah digunakan oleh Israel untuk mempertahankan dominasinya. Salah satu strategi yang tampak namun jarang disebut secara eksplisit adalah apa yang bisa disebut sebagai “strategi pasir hisap.” Ini bukan strategi resmi dalam literatur militer Israel, tetapi metafora ini sangat tepat menggambarkan cara Israel menciptakan medan konflik yang membuat lawannya sulit bergerak, dan pada akhirnya terjebak dan tenggelam dalam kekacauan yang diciptakannya sendiri.

BACA JUGA:  Catatan Pinggir dari Warkop: WARTAWAN ITU PENELITI DAN PENJAGA NALAR PUBLIK

Layaknya pasir hisap, strategi ini tidak menyerang secara frontal di awal. Ia tampak diam, bahkan kadang seperti memberikan ruang gerak. Namun setiap langkah yang diambil lawan—baik politik, diplomasi, maupun perlawanan militer—justru membuat mereka semakin terjerat. Strategi ini tidak hanya mengandalkan senjata, tapi juga memainkan opini publik, tekanan ekonomi, adu domba internal, dan bahkan pemanfaatan hukum internasional yang dipelintir untuk kepentingan sepihak.

Contohnya, ketika kelompok perlawanan Palestina melawan, Israel merespons dengan kekuatan besar yang menghancurkan infrastruktur sipil: rumah sakit, sekolah, jaringan listrik, dan air bersih. Dunia melihat kekejaman ini, namun Israel segera memainkan narasi bahwa mereka hanya membalas serangan dari “teroris” Hamas.

Padahal yang menderita bukan hanya pejuang, tetapi jutaan warga sipil yang tidak berdaya. Ketika dunia bereaksi, Israel menyodorkan argumen hak bela diri. Maka, pihak Palestina kembali dituntut untuk menahan diri, sementara Israel terus menggali lebih dalam fondasi dominasi militernya. Inilah karakter “pasir hisap”: siapa yang melawan, makin terperosok.