SECANGKIR KOPI PERLAWANAN UNTUK PALESTINA

Dalam situasi seperti itu, simbol menjadi penting. Kita tak boleh meremehkan kekuatan simbol. Ketika jutaan orang memboikot merek-merek yang terafiliasi dengan zionisme, ketika restoran cepat saji ditinggalkan karena hubungannya dengan penjajah, ketika seni mural dan lagu-lagu perjuangan Palestina diputar di jalanan — itu semua adalah bagian dari perlawanan kultural. Dan Kopi Palestino adalah bagian dari itu.

Bisa jadi, saat seorang pelanggan bertanya, “Kenapa Americano di tempat ini diganti jadi Palestino?” maka pertanyaan itu akan membuka percakapan, membuka ruang edukasi, membuka pintu kepedulian. Di sanalah kekuatannya: ia menyelinap ke ruang-ruang yang selama ini steril dari politik, dan mengubahnya jadi ruang kesadaran.

Dari Lidah ke Nurani

Gerakan ini bukan hanya soal mengganti nama menu. Ia adalah tentang mengalihkan kesadaran. Di tengah dunia yang makin apatis, menggeser satu istilah di buku menu bisa menjadi lompatan besar di hati manusia. Di balik satu cangkir kopi, ada harapan bahwa seseorang akan membuka Google dan mencari tahu: kenapa banyak orang mengganti nama Americano menjadi Palestino? Siapa sebenarnya Palestina? Kenapa mereka dijajah? Kenapa Amerika mendukung Israel?

BACA JUGA:  Pajak Oh Pajak

Dan ketika jawaban-jawaban itu ditemukan, maka secangkir kopi telah berhasil mengantarkan seseorang dari ketidaktahuan menuju empati. Dari empati menuju aksi. Dari aksi menuju solidaritas.

Tak semua orang bisa turun ke jalan. Tak semua bisa menggalang donasi besar. Tapi siapa pun bisa memilih untuk tidak menyebut Americano, dan menyebutnya Palestino. Karena bahkan ucapan kita pun, jika dilandasi niat membela yang tertindas, bisa menjadi amal.

Kopi yang Menyuarakan Doa

Kopi Palestino bukan hanya bentuk protes — ia juga bisa menjadi simbol doa. Setiap seduhan, setiap hirupan, menjadi pengingat atas ribuan nyawa yang gugur karena kezaliman. Ia menjadi doa yang beraroma harum, naik ke langit bersama rasa duka dan solidaritas kita. Sebagaimana teh kental di Gaza yang diminum di tengah bunyi drone, kopi kita yang tenang pun bisa menjadi jembatan rasa — bahwa kita bersama mereka, dalam cara kita masing-masing.

Ketika Dunia Diam, Kita Bersuara

Salah satu rasa paling pahit dari tragedi Palestina adalah sunyinya dunia. Negara-negara besar memilih bungkam, lembaga internasional hanya mengeluarkan pernyataan standar, dan media sering menyudutkan korban alih-alih penindas. Di tengah kebisuan itu, mengganti satu nama bisa menjadi suara.

BACA JUGA:  Kembali Fokus ke Gaza

Sama seperti ketika restoran di Yordania menghapus nama-nama menu Barat dan menggantinya dengan nama-nama kota Palestina.