Oleh Aslam Katutu
NusantaraInsight, Makassar — Di sela obrolan santai tentang Urban Farming di Driving Golf Bukit Baruga, siang itu suasana akrab tercipta bersama Fadly Padi—musisi Padi Reborn yang juga dikenal sebagai pegiat urban farming Makassar.
Saat hendak memesan kopi, sang pramusaji menyebutkan salah satu pilihan: kopi Americano. Spontan, Muliadi Saleh—penulis sekaligus konsultan lingkungan—berujar, “Tolong, ganti saja namanya menjadi kopi Palestino.” Prof. Sudirman Numba yang turut hadir langsung menyambut gagasan itu dengan antusias, “Wah, itu ide bagus! Kita memang harus memperjuangkan Palestina dari berbagai sisi, termasuk lewat simbol-simbol kecil seperti ini.”
Di dunia yang penuh dengan simbol dan narasi, terkadang perlawanan tidak selalu berbentuk senjata atau unjuk rasa besar-besaran. Ada kalanya perlawanan itu hadir dalam secangkir kopi — sederhana, hangat, namun sarat makna. Inilah semangat di balik gerakan mengganti nama kopi Americano menjadi “Kopi Palestino”, sebuah upaya simbolik yang lahir dari kegelisahan nurani umat manusia atas tragedi panjang yang menimpa Palestina.
Americano, kopi hitam yang sering disajikan tanpa gula, tanpa susu, dan tanpa basa-basi, selama ini identik dengan budaya minum kopi di dunia Barat. Dinamai demikian karena sejarahnya yang konon berasal dari tentara Amerika yang ingin mencairkan rasa espresso Italia yang terlalu kuat. Namun hari ini, di tengah penderitaan rakyat Palestina yang tak kunjung reda, nama “Americano” tiba-tiba menjadi getir di lidah. Sebab Amerika Serikat tak hanya diam melihat genosida di Gaza, melainkan menjadi sponsor utama penjajahan itu dengan miliaran dolar bantuan militer yang mengalir setiap tahunnya ke Israel.
Maka muncullah ide ini: mengganti nama kopi Americano menjadi Kopi Palestino. Sebuah bentuk protes yang damai, namun tajam. Sebuah pesan yang dikirim dari kedai kopi kecil di Jakarta, Surabaya, Makassar, hingga mungkin menjalar ke Istanbul, Kuala Lumpur, dan Madrid. Bahwa kami menolak ikut diam. Bahwa kami tak bisa menyesap kopi dengan tenang, sementara anak-anak di Rafah menyesap debu dan tangis. Bahwa bahkan dalam secangkir kopi pun, ada ruang untuk keberpihakan.
Simbol dan Perlawanan Kultural
Mengganti nama Americano menjadi “Palestino” bukanlah tindakan spontan tanpa makna. Ini adalah bagian dari perlawanan kultural — perlawanan yang tidak membutuhkan peluru, tetapi membangun kesadaran kolektif. Dunia ini sedang dibanjiri propaganda. Penderitaan rakyat Palestina coba dikaburkan dengan jargon-jargon keamanan, digelapkan oleh label-label “teroris”, dan dikubur di bawah kebisingan algoritma.