Di sisi lain, negative margin shock atau dampak negatif dari turunnya harga komoditas dari harga nikel dan CPO yang berdampak langsung terhadap sektor hilirisasi dan tenaga kerja di daerah berbasis tambang dan perkebunan. Fenomena dual shocks pada kinerja ekspor ini membuka ruang terjadinya kegagalan hilirisasi industri sebagai strategi pertumbuhan tinggi.
“Alih-alih memperkuat nilai tambah dan ketahanan industri, pemerintah tampaknya terlalu bergantung pada windfall komoditas yang bersifat temporer, bukan fundamental. Smelter nikel yang menjadi leading hilirisasi sektor tambang, ternyata rapuh di tengah oversupply global dan rendahnya permintaan. Ini bukti bahwa hilirisasi yang dikembangkan belum diikuti inovasi, integrasi pasar global dan nasional yang kuat, serta diversifikasi ekspor dan riset teknologi yang kuat,” jelasnya.
*Ketiga* , realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2025 berada di bawah ancaman stagnasi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi 4,87% yoy menjadi alarm keras ‘early warning’, di mana narasi optimisme pemerintah tidak lagi berakar pada realitas. INDEF menegaskan, pelemahan tidak hanya terjadi akibat akibat dinamika global, tetapi lebih pada terjadinya kegagalan domestik melakukan transformasi struktural.
“Ketidakefisienan belanja fiskal, minimnya dorongan produktivitas sektoral, dan stagnasi investasi swasta masih ‘wait and see’. Artinya, ambisi pertumbuhan tinggi sebesar 8 persen hanya ‘jargon politis’ tanpa dasar empiris dan data,” ungkapnya.
*Keempat* , pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 dari sisi permintaan investasi dan konsumsi mengalami kolaps, di mana belanja pemerintah malfungsi. INDEF menyebut, investasi yang stagnan dan konsumsi rumah tangga yang melemah mencerminkan daya dorong utama pertumbuhan lumpuh. Ironisnya, konsumsi pemerintah yang seharusnya menjadi jangkar pertumbuhan justru dikontraksi oleh efisiensi anggaran sebesar Rp 300 triliun.
“Kebijakan fiskal tersebut mencerminkan disorientasi dan maltujuan, bukannya ekspansif di tengah ancaman pelemahan dengan menciptakan peluang, justru menciptakan kontraksi yang semakin kontraproduktif,” tegasnya.
*Kelima* , pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 (yoy) dari sisi penawaran hilirisasi hanya jadi simulasi, industri kehilangan nafas. Pertumbuhan tinggi sektor pertanian yang berbasis musiman hanya menutupi stagnasi mendalam yang terjadi di sektor manufaktur dan pertambangan yang menjadi pilar hilirisasi.
Catatan INDEF menilai pemerintah belum berhasil mendorong sektor-sektor tersebut menjadi mesin pertumbuhan yang memberikan nilai tambah besar dan berkelanjutan.