Selain itu, Pemerintah juga menekankan pentingnya diversifikasi mitra dagang sebagai respons terhadap ketidakpastian global.
“Target kita memang memperluas pasar. Jadi kalau kita melihat episentrumnya di Amerika untuk ketidakpastian dan gejolak ini, maka kita mencari daerah lain yang kita bisa masuki,” lanjut Menko Airlangga.
Indonesia akan terus mengoptimalkan kerja sama internasional melalui forum-forum seperti RCEP, I-EU CEPA, dan CPTPP untuk memperluas akses pasar di luar AS.
Meskipun menghadapi tantangan global, perekonomian Indonesia tetap menunjukkan ketahanan yang solid. Pada Triwulan I-2025, ekonomi Indonesia tercatat tumbuh 4,87% (yoy), melampaui negara-negara ASEAN lainnya. Pertumbuhan ini didorong oleh sektor konsumsi rumah tangga dan sektor produksi seperti pertanian yang mencatatkan pertumbuhan 10,52%.
Pemerintah juga mencatatkan penciptaan lapangan pekerjaan yang cukup signifikan pada kuartal pertama 2025, dengan 594.104 lapangan pekerjaan tercipta dari sektor industri PMDN dan PMA. Menko Airlangga menyampaikan bahwa ini adalah bukti nyata bahwa meskipun ada ketidakpastian global, Indonesia mampu menjaga momentum positif dalam penciptaan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi.
*Catatan Akhir*
Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) menilai angka 4,87% ini sebagai perlambatan pertumbuhan dan menjadi alarm bagi ekonomi nasional ke depan, sehingga perlu dilakukan penguatan kebijakan (sumber: youtobe INDEF, 06 Mei 2025 dan detik.finance, 07 Mei 2025).
INDEF memberi 8 catatan penting yang menunjukkan situasi genting yang dialami Indonesia saat ini.
Diperlukan respons cepat pemerintah untuk segera memperbaiki kebijakan ekonomi. Berikut 8 catatan
dari INDEF.
*Pertama* , Indonesia rentan terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi global. International Monetary Fund (IMF) mencatat perlambatan ekonomi global ke 2,8% dari perkiraan sebelumnya sebesar 3,3% untuk tahun 2025 yang menandai fase stagnasi dunia usai dilanda krisis.
INDEF menilai, hal ini berimplikasi pada ekonomi Indonesia lantaran RI masih bergantung pada ekspor komoditas mentah, yang tanpa lompatan industrialisasi menjadikan Indonesia rentan terhadap dinamika eksternal.
“Pemerintah terlihat tidak cukup agresif dalam merespons tren perlambatan ekonomi global ini dengan strategi diversifikasi dan peningkatan daya saing manufaktur berbasis teknologi tinggi,” tulis catatan INDEF dalam keterangan resminya.
*Kedua* , waspadai ‘dual shocks’ yang menggerus neraca perdagangan akibat volatilitas harga komoditas. INDEF menilai, implikasi volatilitas harga komoditas menciptakan risiko ekonomi domestik ‘dual shocks’ bagi Indonesia. Di satu sisi terdapat positive revenue shock atau peningkatan pendapatan tak terduga dari lonjakan harga batubara dan minyak mentah yang berpotensi menambah penerimaan devisa dan royalti. Akan tetapi, kondisi ini bersifat temporer dan tidak inklusif.