Oleh: Aslam Katutu
NusantaraInsight, Makassar — Di media sosial, yang dulu riuh oleh tagar #FreePalestine, kini mulai senyap. Poster digital yang dulunya ramai disebar, kini perlahan memudar dari linimasa. Bahkan berita tentang pemboman dan genosida di Gaza pun mulai jarang disentuh, meski korban terus berjatuhan.
Tak sedikit yang kini diam, tak sedikit pula yang memilih berpaling. Pertanyaannya: kenapa orang mulai lelah peduli Gaza?
Fenomena ini bukan sekadar soal hilangnya tren atau minimnya informasi. Ini adalah gambaran psikologis, sosial, dan kultural tentang bagaimana manusia modern menghadapi tragedi yang berkepanjangan.
Sebab pada dasarnya, manusia tidak diciptakan untuk menanggung beban empati secara terus-menerus tanpa hasil yang nyata. Apa yang kita lihat hari ini bukan karena rakyat Indonesia tidak peduli, tapi karena empati mereka perlahan lelah dan terkikis.
Compassion Fatigue
Istilah compassion fatigue atau kelelahan empati menjelaskan kondisi di mana seseorang menjadi jenuh, letih, bahkan mati rasa karena terlalu sering terpapar pada penderitaan orang lain. Dalam konteks Gaza, rakyat Indonesia sudah melihat derita Palestina sejak puluhan tahun lalu. Dari generasi Orde Baru hingga Generasi Z, kisah penjajahan Israel dan luka Palestina menjadi berita tahunan, bahkan bulanan.
Di awal serangan besar Israel ke Gaza tahun 2023 dan 2024, empati masyarakat Indonesia kembali menyala. Aksi solidaritas digelar di berbagai kota. Donasi mengalir deras. Doa menggetarkan langit. Namun seiring waktu, konflik tak kunjung berhenti. Gencatan senjata selalu berakhir di kebohongan. Tragedi demi tragedi terjadi, namun dunia tetap diam. Di titik inilah, masyarakat mulai merasa “untuk apa kita peduli, kalau tidak ada perubahan?”
Normalisasi Kekejaman
Ketika kekerasan ditayangkan terus-menerus, bahkan dengan kualitas HD dan kamera jurnalis yang gemetar, manusia lama-lama menjadi kebal.
Gambar bayi terbunuh, rumah yang dihancurkan, atau tangis seorang ibu yang kehilangan anaknya bukan lagi hal luar biasa. Ini disebut desensitisasi emosional—yakni kondisi di mana seseorang berhenti merespons secara emosional karena sudah terlalu sering melihat hal yang sama.
Ini sangat berbahaya. Karena pada titik ini, penderitaan manusia bisa diperlakukan seperti tontonan rutin, bukan tragedi yang harus dihentikan.
Dikejar Masalah di Dalam Negeri
Tak bisa dimungkiri, empati sosial sering kali tergerus oleh beban hidup pribadi. Rakyat Indonesia hari ini sedang bergulat dengan mahalnya harga pangan, pengangguran, ketidakpastian ekonomi, dan tekanan sosial lainnya. Dalam situasi seperti ini, perhatian terhadap Gaza sering kali dianggap sebagai kemewahan emosional yang tidak semua orang sanggup berikan.