Oleh Aslam Katutu
NusantaraInsight, Makassar — Di tengah gemuruh dunia yang konon katanya telah menjunjung tinggi hak asasi manusia, di sudut kecil bernama Gaza, derita seolah tak menemukan tempat di hati global.
Anak-anak tertimbun reruntuhan rumahnya sendiri. Para ibu menangis kehilangan anak-anaknya. Rumah sakit menjadi puing, sekolah menjadi liang, dan kamp pengungsian menjadi sasaran.
Namun dunia tetap memilih diam—atau bahkan lebih buruk, pura-pura tidak tahu.
Pertanyaannya sederhana tapi menyayat: kenapa dunia memilih diam terhadap penderitaan Gaza?
Jawabannya tidak sesederhana itu.
Diamnya dunia adalah cerminan dari ketimpangan moral, kepentingan politik, dan kemunafikan global yang telah lama menjangkiti tatanan internasional. Mari kita telusuri satu per satu.
STANDAR GANDA DALAM ISU KEMANUSIAAN
Jika tragedi semacam ini terjadi di Eropa atau negara-negara Barat, reaksi dunia akan berbeda. Ketika perang pecah di Ukraina, misalnya, dunia seolah bersatu.
Bantuan mengalir deras, liputan media mendunia, simpati meluap dari segala arah. Tapi mengapa ketika ribuan warga Palestina terbunuh—sebagian besar dari mereka adalah anak-anak—hanya segelintir suara yang terdengar?
Inilah wajah standar ganda. Dunia tidak benar-benar bergerak atas dasar kemanusiaan. Dunia hanya bergerak ketika kepentingan geopolitik, ekonomi, atau citra publik mereka terganggu.
Palestina, yang tidak memiliki nilai strategis bagi banyak negara besar, tidak akan menarik empati mereka. Ditambah lagi, keberpihakan banyak negara terhadap Israel membuat mereka enggan mengutuk agresi militer yang terus berlangsung.
DOMINASI NARASI MEDIA BARAT
Media memegang peran sentral dalam membentuk persepsi publik global. Sayangnya, banyak media besar internasional dikendalikan oleh kelompok-kelompok dengan kepentingan tertentu.
Kata-kata seperti “serangan Israel” diganti menjadi “bentrokan”, atau “balasan terhadap roket Hamas”. Pembunuhan anak-anak sipil dibingkai sebagai “kerugian sampingan”. Seolah yang salah bukanlah penjajahan, tapi perlawanan terhadap penjajahan itu sendiri.
Framing ini membentuk opini publik bahwa konflik di Gaza adalah konflik dua pihak yang setara kekuatannya. Padahal kenyataannya, ini adalah kisah panjang tentang penjajahan, pemblokadean, dan pembantaian satu arah.
Ketika narasi yang dominan menyesatkan, masyarakat internasional pun tak punya cukup dorongan untuk bersikap kritis. Mereka dibuai oleh kata-kata, dan lupa bahwa di baliknya ada darah dan air mata.
KEPENTINGAN POLITIK DAN EKONOMI







br






