KELAPARAN KATASTROPIK

Lebih dari sekadar konflik politik, Gaza adalah ujian nurani global. Apakah kita masih bisa marah saat menyaksikan ketidakadilan? Apakah kita masih bisa bersuara ketika hak paling dasar manusia direnggut? Ataukah kita sudah terlalu sibuk dengan algoritma dan geopolitik sehingga lupa bahwa penderitaan bukan statistik?

Jalan Keluar: Sulit, Tapi Harus Dicari

Krisis Gaza membutuhkan pendekatan yang menyeluruh. Bukan hanya gencatan senjata sementara, tetapi gencatan sistemik terhadap seluruh bentuk penindasan yang selama ini dibiarkan.

Dunia perlu kembali pada prinsip dasar kemanusiaan: bahwa tidak ada alasan apa pun yang bisa membenarkan kelaparan massal, pembunuhan sipil, atau blokade bantuan.

Langkah pertama adalah mendesak pembukaan jalur kemanusiaan permanen yang tidak dipolitisasi.
Lembaga internasional seperti PBB dan Bulan Sabit Merah harus diberi akses penuh tanpa intervensi militer atau tekanan dari pihak mana pun.

Kedua, dunia harus menetapkan batas moral kolektif, di mana kejahatan terhadap warga sipil menjadi garis merah yang tidak boleh dilampaui siapa pun.

Ketiga, diplomasi tidak boleh dibiarkan mati. Meski negosiasi buntu, tidak berarti dialog harus dihentikan. Justru di titik inilah suara-suara baru, dari negara-negara non-blok dan kekuatan sipil dunia, perlu naik ke permukaan untuk mengisi kekosongan moral yang ditinggalkan kekuatan besar.

BACA JUGA:  Giri Arnawa: Soal Banjir dan Perubahan Iklim

Jangan Biarkan Gaza Mati dalam Diam

Sejarah akan mencatat bukan hanya siapa yang melakukan penindasan, tetapi juga siapa yang memilih diam. Gaza adalah luka yang terbuka, berdarah, dan terus menganga. Tapi luka ini bukan luka Palestina semata. Ini adalah luka dunia.

Jika dunia membiarkan Gaza terkubur oleh kelaparan, oleh amarah yang tak diselesaikan, dan oleh kepentingan yang tak dikendalikan, maka bukan hanya satu wilayah yang kalah—tetapi kemanusiaan itu sendiri.

Masih belum terlambat untuk bertindak. Tapi waktu terus berjalan. Dan setiap detik yang kita tunda, adalah satu nyawa lagi yang mungkin tak sempat kita selamatkan.

Kelak kita akan pertanggungjawabkan kehadirat Tuhan, karena di sini kita bisa tidur nyenyak kekenyangan sementara di gaza sudah terjadi Kelaparan Katastropik.
(Sumber : UNRWA, WHO, media internasional)

26 Juli 2025