KELAPARAN KATASTROPIK

Oleh Aslam Katutu

NusantaraInsight, MakassarGaza saat ini berada di ujung tanduk kemanusiaan, di titik kritis. Hari-hari penuh kehancuran, derita tanpa jeda, dan harapan yang menipis menyelimuti wilayah sempit yang telah terlalu lama terperangkap dalam sejarah kekerasan, blokade, dan ketidakadilan. Setelah lebih dari 650 hari sejak meletusnya konflik besar terakhir, kondisi di Gaza berubah dari krisis menjadi potret kelaparan paling mematikan abad ini.

Blokade yang terus diberlakukan membuat bantuan kemanusiaan nyaris tak bisa masuk, sementara perundingan damai yang pernah membawa secercah harapan kini kembali buntu. Dunia menyaksikan, beberapa bersuara, sebagian tergerak, tetapi solusi nyata belum kunjung datang.

Anak-Anak yang Lahir dalam Derita

Di balik reruntuhan dan puing-puing bangunan, hidup anak-anak yang tak pernah mengenal damai.

Mereka tumbuh di tengah ledakan, kelaparan, dan duka. Data dari WHO dan UNICEF menyebutkan lebih dari 470.000 orang kini berada dalam kondisi “kelaparan katastropik”, yakni tingkat kelaparan paling ekstrem.

Banyak dari mereka adalah anak-anak yang tubuhnya menyusut karena kekurangan gizi, tulang yang menonjol di bawah kulit tipis, dan mata kosong yang kehilangan kilau kehidupan.

BACA JUGA:  Meritokrasi Birokrasi NTB

Di rumah sakit-rumah sakit yang sudah tak layak disebut rumah sakit, para dokter tanpa alat dan tanpa listrik berjuang mempertahankan nyawa dengan apa pun yang ada.

Dalam satu malam, dua bayi dikabarkan meninggal dunia akibat kekurangan gizi akut—bukan karena bom, bukan karena peluru, tetapi karena tidak ada susu dan makanan yang bisa sampai ke mereka.

Blokade dan Ketidakadilan Distribusi Bantuan

Masalah Gaza bukan semata soal konflik militer, tapi juga tentang akses dan kemanusiaan. Blokade yang diberlakukan Israel sejak lama semakin diperketat. Bantuan yang dikirim oleh lembaga internasional tertahan di perbatasan, atau hanya diperbolehkan masuk lewat mekanisme-mekanisme yang tidak netral dan rentan manipulasi.

Upaya airdrop bantuan dari negara-negara Arab memang menyentuh hati, tapi dinilai tidak efektif oleh lembaga-lembaga kemanusiaan dunia. Banyak dari paket bantuan jatuh di tempat yang salah, tidak terjangkau warga sipil, bahkan kadang merusak infrastruktur seadanya yang tersisa.

Sementara jalur darat yang menjadi satu-satunya harapan distribusi aman tetap ditutup atau dikontrol secara ketat, dan seringkali diserang ketika masyarakat berkumpul untuk menanti bantuan.

BACA JUGA:  APBN Defisit Lagi!

Beberapa negara—seperti Yordania dan Uni Emirat Arab—telah menyuarakan keprihatinan dan mengupayakan kerja sama dengan Israel agar jalur kemanusiaan dibuka.