Istana Kesultanan Bima: Jejak Peradaban di Asi Mbojo

Istana Kesultanan Bima
Istana Kesultanan Bima (foto: aks)

Catatan Agus K Saputra

NusantaraInsight, Ampenan — Di tanah timur Pulau Sumbawa, berdiri sebuah bangunan bersejarah yang hingga kini menjadi saksi bisu perjalanan panjang sebuah peradaban: Istana Kesultanan Bima. Masyarakat setempat menyebutnya Asi Mbojo, yang secara harfiah berarti “istana orang Mbojo” — sebuah tempat yang tidak hanya berfungsi sebagai kediaman sultan, tetapi juga sebagai pusat lahirnya keputusan-keputusan penting yang mengatur kehidupan masyarakat Bima.

Dalam sejarahnya, Asi Mbojo bukan sekadar simbol kekuasaan, melainkan juga sebuah ruang tempat nilai-nilai adat, syariat Islam, dan tradisi budaya Mbojo diramu menjadi sistem sosial yang teratur.

Asi Mbojo dibangun dengan gaya arsitektur khas yang memadukan unsur lokal dengan pengaruh budaya luar yang datang melalui jalur perdagangan. Pilar-pilar kayu kokoh, ukiran dengan motif flora dan fauna, serta tata ruang yang simetris mencerminkan kecanggihan arsitektur tradisional yang berakar pada kearifan lokal.

Namun, lebih dari sekadar fisik bangunan, Asi Mbojo menyimpan makna simbolis sebagai pusat legitimasi politik dan spiritual, tempat di mana masyarakat Bima menemukan identitas dan arah kehidupannya.

BACA JUGA:  JASA KEUANGAN DI TENGAH RISIKO KETIDAKPASTIAN

Puncak kejayaan Kesultanan Bima terukir indah dalam sejarah ketika berada di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad Salahuddin (1915-1951), seorang penguasa yang dikenal bijak, visioner, dan berani melakukan pembaruan. Ia tidak hanya memimpin sebagai seorang raja, tetapi juga menjadi sosok yang menjembatani tradisi dengan modernitas.

Di bawah kepemimpinannya, Kesultanan Bima berkembang sebagai pusat kebudayaan, pendidikan, dan perdagangan yang penting di kawasan timur Nusantara.

Sultan Salahuddin mendorong penguatan pendidikan berbasis agama sekaligus membuka diri terhadap pengetahuan modern. Ia menyadari bahwa kemajuan sebuah bangsa tidak bisa hanya bertumpu pada warisan masa lalu, tetapi juga harus berani mengadaptasi hal-hal baru yang bermanfaat.

Jejak kebijaksanaannya begitu kuat, hingga kini namanya diabadikan sebagai identitas bandara di Bima: Bandara Udara Sultan Muhammad Salahuddin, sebuah bentuk penghormatan yang menandai betapa besar jasanya bagi masyarakat dan peradaban Mbojo.

Asi Mbojo pada masa itu bukan hanya tempat tinggal keluarga sultan, tetapi juga ruang diplomasi, pertemuan para bangsawan, serta pusat koordinasi pemerintahan. Di sinilah berbagai keputusan penting diambil—mulai dari pengaturan hukum adat, strategi perdagangan, hingga hubungan dengan kerajaan dan bangsa lain.

BACA JUGA:  Akhir APBN 2024

Istana ini menjadi simbol wibawa, di mana setiap kebijakan lahir dari sebuah musyawarah yang melibatkan berbagai elemen, mencerminkan kearifan demokrasi lokal yang telah lama hidup di Bima.