Setannyaho, di sisi lain, meneriakkan keamanan nasional, tapi yang ia lindungi adalah kursinya sendiri. Ia menciptakan musuh dari segala arah—Iran, Hizbullah, Hamas—agar rakyat terus ketakutan dan memilihnya sebagai pelindung.
Dunia lalu kebingungan dan bertanya: siapa sebenarnya musuh kita? Apakah Iran yang membalas serangan? Atau dua pendekar mabuk yang menari di atas panggung api?
Babak Tiga: Api Menjala Dan akhirnya, itu terjadi.
Ketika rudal Isrewel menghantam situs strategis Iran. Iran membalas. Milisi Syiah bangkit di Irak dan Lebanon. Lautan minyak bakal terbakar. Harga energi bakal meroket. Pasar global akan runtuh. Demonstrasi meledak dari seluruh penjuru dunia . Umat Muslim, Orang Kristen dan Yahudi liberal turun ke jalan serta menjerit menentang perang.
Namun, pendekar mabuk tak mendengar. Mereka menari dalam gemuruh ledakan. Mereka pidato di atas puing. Mereka menciptakan narasi: ini perang suci, perang pertahanan, perang demi peradaban. Perang untuk menghentikan program nuklir Iran lalu merasa benar menyerang kedaulatan Bangsa Iran atas dasar kecurigaan semata. Padahal semua itu nafsu setan dan jiwa iblis yang sudah memasuki hatinya.
Lalu panggung berubah. Rusia ikut gerah . China memperingatkan. NATO pasti terancam terpecah. Dunia terseret dalam pusaran yang tak bisa dihentikan. Akankah Perang Dunia Ketiga akan terjadi?
Babak Empat: Mabuk Menjadi Petaka
Donald Bebek yang mengambil keputusan untuk menyerang situs nuklir yang dicurigainya di Iran, tidak meminta ijin senat terlebih dahulu, Demonstran warganya memenuhi jalan-jalan. Tapi ia tetap berkoar, seperti pendekar tua yang tak tahu diri. Dengan santai menteri pertahanannya mengumuman bahwa semua ini telah jauh hari direncanakan sebelumnya. Padahal baru beberapa saat dia mengumumkan bahwa akan mengambil keputusan dua minggu kemudian, tapi keburu mabuk duluan sehingga tidak sabar langsung menyerang Iran.
Di Telapip, Setannyaho dikepung kebingungan karena warganya mulai pergi meningglkan tanah rampasan. Dia sibuk memprovokasi sekutunya dalam kondisi sudah sekarat. Rakyatnya semakin penuh ketakutan di antara Sirene berbunyi setiap malam. Mereka dan Anak-anak yang tidur di bunkerpun mulai gelisah. Tapi Setannyaho tetap bertahan, karena baginya, kekuasaan lebih penting daripada nasib warga dan anak-anak itu.
Keduanya kini mabuk bukan hanya oleh ambisi, tapi oleh kerasukan iblis. Dunia terbakar, dan mereka tetap saja memainkan peran sebagai jagoan. Padahal sejarah telah menuliskan mereka sebagai penyebab semua ini.