DARI MAKASSAR KE MANHATTAN: DUA WAJAH POLITIK YANG KEMBALI BERPIHAK PADA MANUSIA.

Zohran pun melakukan hal yang sama. Ia dikenal sering turun ke jalan, berbicara langsung dengan warga yang kesulitan membayar sewa rumah, mendengar keluhan mereka tanpa jarak.

Keduanya membawa politik kembali ke tempat asalnya: di antara manusia.
Dalam diri mereka, kita melihat refleksi kepemimpinan yang tumbuh dari empati, bukan dari ambisi.

POLITIK YANG MENYENTUH NURANI

Apa yang membuat dua tokoh ini menarik bukanlah jabatan yang mereka pegang, tetapi cara mereka memaknai kekuasaan. Appi menempatkan kehormatan (siri’) sebagai nilai utama dalam hidup dan kariernya. Ia memandang integritas sebagai fondasi dalam setiap keputusan publik. Ia menghindari politik kotor, dan berusaha membangun citra politik yang sehat dan rasional.

Sementara itu, Zohran memandang keadilan sosial sebagai inti perjuangannya. Ia menolak kompromi dengan kebijakan yang menindas rakyat kecil, meski itu berarti menentang partainya sendiri. Ia menempatkan moralitas di atas strategi politik.
Keduanya menjadi simbol bahwa politik bisa tetap manusiawi, bahkan dalam sistem yang keras sekalipun. Mereka menunjukkan bahwa kejujuran dan empati masih mungkin bertahan di tengah politik yang sering penuh tipu daya.

BACA JUGA:  MANUSIA SETENGAH DEWA

PLURALISME DAN PERSAHABATAN LINTAS BUDAYA

Menariknya, baik Appi maupun Zohran sama-sama hidup di lingkungan yang majemuk. Makassar, kota asal Appi, adalah simpul pertemuan berbagai etnis dan agama di Indonesia Timur. Ia tumbuh dalam budaya Bugis-Makassar yang menjunjung tinggi kehormatan, tapi juga terbuka terhadap perbedaan.

Zohran tumbuh di New York—kota paling plural di dunia—yang mempertemukannya dengan orang dari segala latar belakang. Ia sendiri adalah simbol lintas identitas: keturunan India, lahir di Afrika, besar di Amerika.

Keduanya membawa pesan serupa: bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin justru lahir dari kemampuannya merangkul perbedaan.

DUA JALAN, SATU TUJUAN

Jika Appi berjuang dalam konteks pemerintahan lokal, Zohran berjuang dalam sistem politik global. Namun keduanya menempuh jalan yang sama: menjadikan politik sebagai wadah memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan.

Appi fokus pada tata kelola dan etika publik di tingkat daerah. Zohran menyoroti kebijakan sosial dan ekonomi di tingkat negara bagian. Keduanya bergerak dari bawah, bukan dari ruang kekuasaan, melainkan dari denyut kehidupan masyarakat sehari-hari.

BACA JUGA:  Dende Tamari: Perlawanan, Tragedi, dan Keberanian Perempuan

Di era ketika banyak politisi tampil lewat pencitraan media sosial, Appi dan Zohran justru tampil sebagai pemimpin yang nyata bekerja dan mendengar.

Mereka membangun kepercayaan bukan dengan janji, tapi dengan kedekatan
Munafri Arifuddin dan Zohran Mamdani mungkin tidak pernah bertemu, tetapi jika suatu hari mereka saling berjabat tangan, dunia seakan melihat simbol persahabatan dua jiwa yang serupa dalam niat: membangun politik yang bermartabat. Dari Makassar hingga Manhattan, dari lorong stadion hingga ruang parlemen, keduanya menegaskan bahwa perubahan sejati dimulai dari hati yang tulus.

br