Catatan Agus K Saputra
NusantaraInsight, Ampenan — Berkesempatan tatap muka dengan Widyaiswara Ahli Utama BPSDMD Provinsi Nusa Tenggara Barat Cukup Wibowo, ada saja ide, gagasan, dan tulisan yang disuguhkan. Kali ini tentang Calon ASN dari kalangan Generasi Z.
1. Latsar sebagai Ruang Dialektika Nilai dan Teknologi
Perubahan demografi Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah sebuah keniscayaan sejarah. Generasi Z kini mendominasi ruang pelatihan CPNS, sebuah generasi yang lahir langsung di dalam ekosistem digital. Dalam diri mereka, teknologi bukan sekadar alat, melainkan bagian dari identitas. Riset Southeastern Oklahoma State University mencatat lebih dari 42% profesional muda Gen Z menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk menemukan jalur karier, menulis resume, hingga mempersiapkan wawancara. Angka ini mencerminkan tingkat kepercayaan yang nyaris absolut terhadap teknologi.
Namun, birokrasi tidak bisa semata-mata ditundukkan pada logika efisiensi digital. Ia dibangun di atas fondasi etika, regulasi, dan akuntabilitas. Di titik inilah Latsar CPNS tidak boleh dipandang sebagai sekedar formalitas administratif, melainkan medan dialektika: antara teknologi yang serba cepat dengan nilai pelayanan publik yang menuntut kesabaran, tanggung jawab, dan integritas. Seorang widyaiswara, seperti yang dipraktikkan Cukup Wibowo di BPSDMD NTB, hadir bukan sebagai penguasa podium, melainkan fasilitator perjumpaan antara dunia digital Gen Z dan nilai dasar ASN “BerAKHLAK”.
2. Filosofi Peran Widyaiswara: Dari Guru ke Inspirator
Bagi Cukup Wibowo, menjadi widyaiswara berarti melampaui sekadar transfer pengetahuan. Pendidikan ASN harus menggemakan pesan Prof. Eko Prasojo (dalam tulisannya di Harian Kompas, 19 Januari 2021): birokrasi yang lincah tidak cukup bertumpu pada aturan, melainkan pada kemampuan beradaptasi terhadap perubahan zaman. Dengan demikian, widyaiswara harus mengubah dirinya dari sekadar guru menjadi inspirator, dari sekadar penceramah menjadi fasilitator pembelajaran kolaboratif.
Filsafat pendidikan orang dewasa (andragogi) mengajarkan bahwa manusia belajar bukan hanya dari kata-kata, melainkan dari pengalaman. Di sinilah metode experiential learning, diskusi kreatif, gamifikasi, hingga reverse mentoring menjadi relevan. Filosofinya sederhana: setiap generasi membawa kebijaksanaan masing-masing. Gen Z membawa kecepatan digital, Gen Y membawa fleksibilitas multitasking, Gen X membawa kedalaman pengalaman, sementara generasi baby boomers
menghadirkan ketekunan. Seorang widyaiswara yang kreatif akan mengolah perbedaan ini bukan sebagai jurang, melainkan sebagai harmoni.