Bedah Buku: Heterarki Masyarakat Muslim Indonesia

Heterarki
ki-ka: Prof. Dr. Atun Wardatun, Prof. Dr. Abdul Wahid, Prof. Dr. Nuriadi dan Dr. Saipul Hamdi

4. Terkait perempuan yang menjadi pejabat publik/politik dewasa ini, tampaknya kaum perempuan terjebak dalam kondisi masyarakat liminalitas. Yang artinya: secara formal perubahan posisi/peran perempuan di publik sudah diakui oleh negara, namun model berpikir sistem sosial.masih belum berubah. Masih terkungkung dalam sistem patriarkis yang dianut oleh para suaminya.

*Kajian Prof. Dr. Abdul Wahid*

Pertama, buku ini adalah hasil perasan otak kami berdua yang akan dipidatokan dalam pengukuhan Guru Besar. Apa temuan kita selama ini?

Ternyata, banyak karya-karya kami berkutat tentang dinamika masyarakat muslim dan salah satunya tentu Bima. Sebagai pembanding tahun 2016, kami mendapat penelitian di 4 provinsi: Nusa Tenggara Timur (Reo dan Ruteng), Sulawesi Tenggara (Kendari), Sumatera Barat (Padang, Bukit Tinggi, Padang Panjang, Pariaman), dan Kalimantan Selatan (Banjarmasin dan Martapura).

Kami berdua menemukan berbagai bukti adanya heterarki yang dipraktikkan dalam berbagai ritual dan tradisi masyarakat tersebut walaupun jenis kekerabatan mereka berbeda (hal. 11).

Selanjutnya, kami berdua berkolaborasi menulis 7 Jurnal Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Nah itulah yang kami kompilasi di buku ini. Lalu kami susun menjadi pidato pengukuhan berjudul Heterarki Masyarakat Muslim di Indonesia Timur (melihat masyarakat muslim Indonesia dari Bima, kira-kira begitu).

BACA JUGA:  Ananda Sukarlan Award Bukan Hanya Perayaan Musikal, Tetapi Juga Puitik: Sebuah Analisa

Di buku ini kami bagi dua, bagian pertama prolog, bagian terakhir epilog. Celahnya itu kami isi dengan 7 tulisan kolaborasi kami berdua dan menjadi partikularitas, yang mana di dalam kajian sosiologi cenderung diabaikan (seperti sejarah kecil, narasi kecil, dan geliat kecil).

Kedua, kami masih ambigu apakah heterarki (pada tahun 1945 digunakan pertama kali oleh Warren McCulloch: dalam Cumming, 2016: 3) ini teori atau perspektif. Baiklah, bagai kami dua-duanya sama fungsinya, yaitu cara kita melihat masyarakat muslim indonesia dari sudut pandang heterarki, berbeda dengan orang-orang lain. Ini cara kritik kami dalam melihat masyarakat muslim indonesia.

Contoh: cara melihat masyarakat muslim indonesia itu kebanyakan hierarkis (terutama hierarkis moral) di samping pembagian wilayah-wilayah kekuasaan. Apakah tidak ada cara pandang lain yang non hierarkis di dalam melihat masyarakat muslim indonesia. Ada!

Begini ceritanya. Masyarakat muslim indonesia pasca Majapahit dan Sriwijaya adalah masyarakat muslim yang begitu cair. Yang begitu dinamis perkembangannya. Bayangkan dari menganut secara taat dan ketat agama-agama pra islam (Hindu, Budha) lalu secara reformasi sosialnya itu berlangsung secara cepat sekali. Mereka memeluk Islam. Dan pergulatan menjadi muslim begitu kuat sekali berkembang. Sehingga bisa dilihat ciri-ciri masyarakat muslim: floris (berbunga-bunga, warna-warni), tentatif (tidak selamanya abangan, priyayi, santri, tidak selamanya normatif, kebatinan, islam waktu telu), dan sinkretik.