“Ketika kami melempar ke publik, kami sudah yakin akan banyak komentar. Banyak masukan, dan itulah dialektika ilmu pengetahuan. Jadi paling tidak dua hal itulah yang coba kami tawarkan dari buku ini,” katanya.
Satu lagi, yaitu mengenai masyarakat muslim Indonesia, padahal penelitian ini masih di Indonesia Timur dan kebanyakan di Bima. Serta sedikit disinggung tentang perempuan di Jawa, karya-karya tokoh feminisme muslim di Indonesia tiga orang. Tapi kebanyakan tentang Bima.
“Bagaimana mungkin Bima bisa mempresentasikan Indonesia secara umum. Nanti ada alasan tersendiri dari Prof. Wahid, tapi dari saya sendiri bahwa memang kalau kita bicara tentang masyarakat muslim Indonesia, satu hal tidak mungkin akan berbicara seluruh lingkup Indonesia. Tetapi ketika kita membicarakan itu adalah representasi dari Indonesia itu sendiri, kita bisa mengklaim bahwa ini tentang masyakat muslim indonesia,”turur Prof. Atun.
Tinggal nanti, tambah Prof. Atun, kita gerakkan bahwa masyarakat muslim indonesia yang kami maksudkan dalam buku ini adalah indonesia timur dan masyarakat muslim di sini (Bima). Tetapi saya kira ini akan debatable, mungkin orang akan berharap lebih spesifik judulnya, tetapi benar atau salahnya bisa kita perdebatkanlah.
Di sisi lain, melalui teori struktural disadari bahwa agensi atau kapasitas bertindak bisa dimiliki oleh siapa pun termasuk perempuan. Jika agensi agensi perempuan di dunia barat lebih menekankan makna kedirian (personhood) yang individual dalam bentuk resistensi dan perlawanan, maka agensi perempuan Bima bersifa kolektif, dan komunal, dalam bentuk akomodasi dan solidaritas.
*Kajian Dr. Saipul Hamdi*
Teori heterarki dalam konteks masyarakat masih sangat relevan. Bagaimana otoritas adat, kemudian hukum-hukum adat masih berlaku di masyarakat kita dan itu menjadi otoritas yang hegemonic yang sulit untuk dilawan.
“Tetapi kemudian seiring perubahan undang-undang di negara kita, mulai ada wacana-wacana baru yang kemudian jika di “abangan” selalu ada benturan (misalnya pernikahan dini yang dikaitkan dengan kekuatan adat),” ucap Saipul Hamdi Direktur Cepodest Universitas Nahdatul Ulama Nusa Tenggara Barat.
Kalau melihat teori ini, tambahnya, sebenarnya kita bicara teori-teori sosial yang lahir di Eropa kemudian di capture, ternyata teori heterarki menjadi counter dari teori hirarki yang melihat bahwa kekuasaan itu bisa di ranking, namun dalam konteks masyarakat modern ternyata hirarki ini mulai hilang.
“Ada perubahan adat seiring pengaruh perubahan sosial dan ini menjadi tantangan teori ini, karena faktanya distribusi kekuasaan sudah berlangsung di masyarakat,” tandasnya.
*Kajian Prof. Dr. Nuriadi*
Bagi Prof Nuriadi, Prof. Dr. Abdul Wahid (AW1) dan Prof. Dr. Atun Wardatun (AW2) adalah contoh heterarki yang sebenarnya. Ada pun catatannya terhadap buku ini sebagai berikut: