Antara GNI, Indeks Kesejahteraan Petani, dan Penciptaan Lapangan Kerja Formal

Gni
Ilustrasi (foto aks)

Keseluruhan indikator ini berfungsi sebagai tolok ukur untuk melihat sejauh mana pembangunan benar-benar berdampak pada peningkatan taraf hidup rakyat.

Meski langkah ini patut diapresiasi, implementasi di lapangan tentu tidak mudah. Penghitungan GNI per kapita harus dilakukan secara cermat dengan memperhitungkan kurs, inflasi, dan daya beli. Indeks Kesejahteraan Petani menuntut adanya data yang lengkap dan terintegrasi, sementara penciptaan lapangan kerja formal membutuhkan reformasi besar-besaran di pasar tenaga kerja, termasuk penegakan hukum ketenagakerjaan dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Selain itu, kebijakan makro juga harus sinkron dengan kebijakan sektoral. Misalnya, untuk meningkatkan kesejahteraan petani, tidak cukup hanya menghitung indeksnya, tetapi juga memperbaiki rantai pasok, harga jual, dan akses teknologi. Begitu pula dalam menciptakan lapangan kerja formal, dibutuhkan iklim investasi yang kondusif serta pendidikan vokasi yang relevan dengan kebutuhan pasar.

Kesepakatan antara Pemerintah dan Banggar DPR untuk menambah indikator kesejahteraan dalam APBN 2026 adalah langkah maju dalam pembangunan nasional. Dengan memasukkan GNI per kapita, Indeks Kesejahteraan Petani, dan penciptaan lapangan kerja formal, APBN tidak lagi hanya menjadi dokumen fiskal, tetapi juga instrumen untuk mengukur kualitas hidup rakyat secara lebih nyata.

BACA JUGA:  Perusahaan Asal Malaysia Investasi di Wajo Rp1.2 Triliun

Meskipun tantangan implementasi masih besar, langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah dan legislatif dalam memperbaiki kualitas pembangunan. Harapannya, indikator-indikator baru ini tidak hanya berhenti pada angka di atas kertas, melainkan benar-benar diwujudkan dalam kebijakan yang menyentuh kehidupan rakyat. Dengan begitu, APBN 2026 dapat menjadi tonggak menuju Indonesia yang lebih sejahtera, inklusif, dan berkeadilan.

#Akuair-Ampenan, 05-10-2025