Kecurigaan tidak muncul tanpa dasar. _Pertama_ , angka yang melebihi konsensus pasar atau ekspektasi ekonom rawan memicu verifikasi independen, terutama ketika komposisi pertumbuhan didominasi oleh beberapa sektor jasa yang sangat sensitif pada kalender (hari raya, cuti bersama).
_Kedua_ , adanya lonjakan di hampir semua lapangan usaha sekaligus menimbulkan pertanyaan tentang kualitas sampel survei, pengukuran aktivitas sektor informal, dan kemungkinan efek basis (base effect) dari perbandingan year-on-year.
_Ketiga_ , angka impor yang tinggi serta kontraksi konsumsi pemerintah (-0,33%) menunjukkan adanya pola di mana pertumbuhan swasta dan ekspor menutup kelemahan di komponen lain—pola yang dapat menciptakan kerentanan jika kondisi eksternal melemah. Media dan analis telah mengangkat beberapa ‘anomali’ dan meminta transparansi lebih jauh terkait metodologi agar publik dan pasar memiliki pemahaman yang sama.
BPS memiliki kerangka metodologis yang baku dan berkaitan dengan standar internasional, sehingga pernyataan kementerian yang menegaskan tidak ada manipulasi berhubungan dengan reputasi institusi statistik. Namun, publik harus siap pada kemungkinan revisi data (normal dalam seri statistik PDB), karena data awal sering diperbarui saat data administrasi yang lebih lengkap tersedia.
Oleh karena itu, skeptisisme sebagian ekonom lebih tepat diposisikan sebagai permintaan untuk keterbukaan metode, transparansi sumber data, dan akses terhadap komponen-komponen raw (misalnya indikator sektoral bulanan) yang dapat memperkuat atau membantah pembacaan agregat.
Dalam jangka pendek, kombinasi likuiditas yang relatif longgar (pertumbuhan M2), penurunan suku bunga yang dipimpin oleh keputusan Bank Indonesia, serta dorongan fiskal selektif bisa memperpanjang momentum pertumbuhan. Namun ini datang dengan trade-off: tekanan pada nilai tukar, risiko inflasi domestik apabila pasokan tidak mengikuti, dan potensi melebar defisit neraca berjalan bila impor terus menguat.
Selain itu, kontraksi konsumsi pemerintah menunjukkan ruang fiskal yang terbatas atau penyesuaian pengeluaran—yang harus dikelola agar tidak mengorbankan investasi infrastruktur strategis. Koordinasi kebijakan moneter dan fiskal, peningkatan produktivitas rantai pasok, serta insentif untuk substitusi impor di sektor-sektor tertentu dapat menjadi prioritas kebijakan. (Sumber: Reuters; Bank Indonesia).
Kesimpulannya, angka 5,12% pada Q2-2025 adalah kombinasi faktor riil (konsumsi, ekspor, investasi)
dan kondisi likuiditas yang mendukung. Namun ada beberapa catatan penting: