Penghujung Orde Baru, KIPP Gandeng Jurnalis Mengawasi Pemilu 1997

Kelima UU paket politik dimaksud, yakni: 1) UU No 1 Tahun 1985 tentang Pemilu; 2) UU No 2 Tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, dan DPRD; 3) UU No 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya; 4) UU No 5 Tahun 1985 tentang Asas Tunggal Pancasila; dan 5) UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Tujuan regulasi ini dimaksudkan agar pemerintah Orba dapat memperkuat perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kehadiran pemantau pemilu independen bukan cuma karena didorong oleh kondisi Tanah Air, tapi juga karena ada gema dari negeri tetangga yang resonansinya sampai ke Indonesia. Letupan yang terjadi di Filipina, yang mampu menumbangkan pemerintahan otoriter Ferdinand Marcos, menjadi contoh kasusnya.

Tahun 1983 di Filipina, dibentuk The National Citizens Movement for Free Elections atau disingkat NAMFREL. Lembaga ini diakui punya andil dalam kejatuhan Marcos. NAMFREL lalu menjadi inspirasi terbentuknya Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).

Ceritanya, pada bulan Februari 1995, Rustam Ibrahim, Ketua Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), menghadiri Konferensi Pemantauan Pemilu se-Asia di Manila. Kegiatan ini dihelat oleh NAMFREL dan NDI (The National Democratic Institute). Disepakati, yang menjadi Ketua KIPP, yakni Goenawan Mohammad, Pemred majalah TEMPO, yang juga seorang tokoh pers nasional (rumahpemilu.org)

BACA JUGA:  Dr Ahmad Abdul Azis Dokter Orthopedi Cari Jalan Jihad di Gaza

Kegiatan-kegiatan pelatihan pemantauan pemilu, kala itu, memang banyak melibatkan jurnalis dari lintas media, segmen, dan gender. Para jurnalis ini tak hanya sebagai peserta, tapi juga pelaksana kegiatan dan narasumber.

Pelatihan-pelatihan ini juga merumuskan, apa dan bagaimana model pemantauan dalam format karya jurnalistik. Pemantauan fokus pada penyelenggaraan kampanye, seperti mobilisasi aparatur birokrasi dan independensi ABRI, juga eksploitasi anak selama masa kampanye. Selama pencoblosan dan penghitungan suara juga jadi perhatian.

Bagi kami di Radio Bharata FM, materi-materi liputan dan wawancara diproduksi dalam beberapa program. Wawancara lengkap dalam bentuk rekaman, disiarkan dalam acara SKETSA (seputar kehidupan kota besar), ada juga dalam bentuk berita (straight news), atau reportase (live report). Reportase yang saya lakukan, kala itu, lebih sering menggunakan telepon umum. Jadi, mesti mempersiapkan uang koin terlebih dahulu.

Prinsip kehati-hatian selalu dikedepenkan dalam penyampaian informasi yang dilakukan. Keberimbangan narasumber, self censorship, dan peran gatekeeper dijalankan. Maklum, itu masa Orba, yang sudah jadi rahasia umum, tidak segan-segan dan punya pengalaman membredel media massa.

BACA JUGA:  EFISIENSI ANGGARAN PUSAT TIDAK BOLEH MENGHAMBAT PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DI PAPUA

Meski tidak semua materi pelatihan tentang pemantauan pemilu dapat disiarkan, tapi sangat membantu kami sebagai jurnalis radio dalam memahami politik dan dinamika demokrasi. Kami–kalangan jurnalis dan media massa– menjadi sekutu yang saling dukung dengan masyarakat sipil dalam menyuarakan pentingnya menegakkan nilai-nilai demokrasi. Dengan begitu, media massa menjalankan fungsi informasi, edukasi, dan kontrol sosial sekaligus. (*)

Gowa, 12 Februari 2024