Pengantar Buku Riset Internasional LSI Denny JA: MENENTUKAN KEMAJUAN NEGARA MELALUI INDEKS TATA KELOLA PEMERINTAHAN

Dalam konteks ini, GGI tak boleh hanya menjadi cermin bening yang memantulkan wajah. Ia harus berubah menjadi pisau bedah: tajam, teliti, dan berani.

Ini untuk mengangkat tumor-tumor korupsi yang bersarang dalam sistem, yang membuat Alif terus berlari di pagi buta, sementara dana pendidikan menguap dalam senyap ke saku yang tak pantas.

Perbaikan tata kelola pemerintahan juga bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata. Keberhasilan reformasi membutuhkan peran aktif masyarakat sipil, sektor swasta, dan semua elemen bangsa untuk bersinergi secara berkelanjutan.

Partisipasi publik yang kritis dan konstruktif, inovasi dari dunia usaha, serta pengawasan transparan dari media dan lembaga independen akan memperkuat fondasi tata kelola yang baik.

Hanya dengan kolaborasi yang solid, Indonesia dapat mengatasi tantangan struktural dan mewujudkan pemerintahan yang benar-benar hadir untuk seluruh rakyatnya.

Indonesia memiliki peluang untuk berpindah dari kuadran IV ke kuadran III, dengan meningkatkan kualitas tata kelola meskipun pendapatan masih terbatas. Ini berarti Indonesia harus:

1. Mereformasi birokrasi secara mendalam.
2. Memberantas korupsi hingga ke akar budaya.
3. Memperkuat demokrasi dan partisipasi publik.
4. Melakukan lompatan digital dalam pelayanan publik.
5. Menyelaraskan pembangunan dengan pelestarian lingkungan.

BACA JUGA:  10 Pesan Spiritual yang Universal dari “Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama” (1) 

Negara seperti Estonia, meski kecil dan tidak kaya sumber daya, berhasil menjadi salah satu negara dengan GGI tinggi karena berani berinovasi dan memberantas korupsi secara sistemik.

Dengan tata kelola yang lebih baik, Indonesia tidak hanya membangun jalan tol dan gedung pencakar langit, tapi juga membuka jalan terang ke sekolah-sekolah terpencil.

Agar anak-anak seperti Alif tidak perlu berlari lima kilometer setiap pagi hanya untuk mendapatkan pendidikan.

-000-

Esai ini bukan sekadar kajian teknokratis. Ia adalah panggilan jiwa. GGI bukan sekadar indeks, tapi adalah peta nurani.

Ia mengingatkan kita bahwa keberhasilan pemerintahan bukan ditentukan oleh berapa proyek yang diresmikan, tapi oleh berapa banyak mimpi rakyat yang diwujudkan.

Sebab sejarah tidak hanya mencatat siapa yang membangun menara tertinggi, tetapi lebih menghargai siapa yang membangun keadilan untuk mereka yang paling membutuhkan.

Muhammad Alif Fathurrohman menunggu. Generasi Indonesia menunggu. Dan sejarah akan mencatat: siapa pemimpin yang hanya menghitung pertumbuhan, dan siapa yang mengukur kemajuan dari seberapa adil pemerintah hadir dalam hidup rakyatnya.***

BACA JUGA:  UKT Melangit, Mahasiswa Menjerit

Jakarta, 17 April 2025