By Humilis Rahman Rumaday
“Jika kamu melihat seseorang banyak berbicara tentang agama tetapi tidak peduli terhadap urusan manusia, maka ketahuilah bahwa agamanya itu semu.”~Umar bin Khattab
NusantaraInsight, Makassar — Kampus bukan hanya ruang akademik, tetapi tempat tumbuhnya kesadaran sebuah tanah subur di mana benih idealisme ditanam, disirami ilmu, dan disinari cahaya pemahaman. Dari kampus kita tumbuh, lalu mengakar dalam masyarakat, menyatu dengan denyut kehidupan, menjadi bagian dari setiap problem dan harapan yang ada. Inilah makna pengabdian sejati, bukan sekadar hadir, tapi menjadi bagian dari pertumbuhan, perubahan, dan penyembuhan. “Dari kampus kita tumbuh, di masyarakat kita mengakar, itulah makna pengabdian sejati.” ~ Rahman Rumaday
Jalaluddin Rumi pernah berkata, “Di mana pun kamu berada, jadilah jiwa di tempat itu.” Jiwa bukan hanya pengisi ruang, tetapi pemberi makna. Ia tidak menunggu tempat sempurna untuk berbuat baik, melainkan menjadikan setiap tempat sebagai ladang amal, ruang dakwah, taman kebaikan. Jiwa adalah cahaya yang tidak mencari panggung, tetapi menerangi apa yang gelap, sekecil apa pun itu.
“Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya,” ~Hud : 6
Syekh Ali Jumah menafsirkan ayat tersebut atas bahwa : “Allah memerintahkan manusia untuk memakmurkan bumi. Memakmurkan bumi ini mencakup segala pekerjaan yang bertujuan untuk memperbaiki bumi dan menyediakan kebutuhan hidup di dalamnya. Seluruh alam semesta dengan segala manifestasi dan keberadaannya diciptakan untuk melayani manusia. Oleh karena itu, manusia wajib memakmurkan dan memeliharanya.” ~ Syekh Ali Jumah
Penggalan kalimat yang tidak asing lagi ditelinga kita bahwa “Hablum minallah dan hablum minannas” bukanlah dua jalan yang terpisah, tapi satu poros pengabdian yang tidak terpisahkan. Berbuat baik kepada manusia adalah wujud cinta kepada Tuhan, mengakar di tengah masyarakat adalah bentuk konkret dari zikir yang hidup, sebab Allah SWT, ada di mana-mana, dan karenanya pengabdian pun tidak mengenal batas. Di kota atau di desa, di jalanan atau dalam ruang kelas, pengabdian selalu mungkin karena Tuhan selalu dekat.
Pengabdian bukan soal jabatan, bukan pula soal gaji atau popularitas. Ia adalah soal kehadiran dan kepedulian. Ia tumbuh dari jiwa yang memahami bahwa setiap langkah, jika diniatkan untuk kebaikan, adalah ibadah. Maka, sejatinya, pengabdian bukan dimulai ketika kita diangkat, tapi ketika kita tersadar bahwa hidup ini adalah amanah. “Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu, serta berbuatlah kebaikan agar kamu beruntung.” ~Al-Hajj: 77