Pangeran Diponegoro, Daeng Nuhung dan Becak di Makassar

Dg Nuhung dan keluarga di makam Pangeran Diponegoro
Dg Nuhung dan keluarga di makam Pangeran Diponegoro

“Biasa saya tanya, tena nussulu? Erokki angngerang rodaku?” Begitulah Nuhung ketika menawarkan becak kepada temannya dalam bahasa Makassar. Kalau diartikan, Nuhung bertanya, apakah kamu tidak keluar dan tidak punya kegiatan? Kamu mau membawa becakku? Roda adalah sebutan untuk becak dalam bahasa Makassar. Lengkapnya tallu roda, artinya tiga roda, merujuk pada jumlah ban yang dimiliki moda transportasi tradisional tersebut.

Setiap becak itu dikenakan pajak oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Tanda atau keterangan pajak itu dalam bentuk lempengen seng seukuran 10×10 cm yang ditempelkan di becak. Kalau ada tukang becak yang bandel tidak membayar pajak becaknya, bisa terkena sweeping, Becak-becak yang terkena razia ini baru dilepas bila pajaknya dibayar lunas. Begitupun bila melanggar aturan lalu lintas atau jalur becak, akan dikenakan sanksi tilang oleh Banpol. Dahulu di Jalan Veteran ada jalur khusus becak. Sedangkan jalur jalan protokol, seperti Jalan Jenderal Sudirman, termasuk terlarang dilalui becak.

Dalam mengangkut penumpang, penarik becak biasanya tidak memiliki batasan jarak dan rute tertentu. Kebanyakan penarik becak melayani penumpang di lorong atau jalan-jalan kecil, yang tidak dimasuki angkutan kota. Kelebihan ketika naik becak, ketika tukang becaknya berani melawan arus demi bisa memangkas jarak yang mesti dilewati. Meski berisiko, tapi pilihan ini sering ditempuh penarik becak. Para penarik becak sangat mengenali jalan-jalan tikus, demi bisa tiba cepat di tempat tujuan.

BACA JUGA:  Muhammad Dzafran Putra Irman Wakil Makassar dalam Ajang FASI XII Sulawesi Selatan

“Biasanya kalau becaknya sulit dikendalikan, saat akan berbelok, bisa-bisa becak tersebut masuk solongang (selokan). Sialnya, becak masuk got beserta penumpangnya. Coba lihat selokan yang di Jalan Mongisidi, ya seperti itu besarnya,” tutur Nuhung, yang tidak lagi menarik becak sejak fisiknya sudah tak lagi sekuat dahulu.

Bentuk becak di Makassar agak berbeda dengan becak lain di Indonesia. Becak di Makassar, bentuknya agak menyempit di bagian atapnya, dan memiliki semacam pintu pada sisi kiri dan kanan. Pembatas “pintu” itu bisa jadi penghalang atau pengaman kaki, tapi ada juga yang malah menggunakannya untuk menaruh kakinya. Atap becak terbuat dari terpal yang kedap air. Bila hujan, ada tirai yang bisa diturunkan untuk melindungi penumpang dari hujan. Sementara tempat duduknya menggunakan bantalan yang diberi spons agar nyaman diduduki. Untuk menambah keindahan becak, pada spakbornya dibuatkan tulisan dan ornamen warna-warni yang selaras.

Jumlah penumpang becak, sejatinya hanya cukup untuk dua orang. Kalau penumpangnya (maaf) bertubuh agak besar, sudah kesulitan. Namun, terkadang satu becak memuat sampai tiga orang penumpang. Bila kebetulan yang naik bertiga, dan semuanya remaja perempuan, biasanya ada yang melontarkan candaan: yang di tengah tidak membayar hehehe.