Nuhung melanjutkan ceritanya. Pada era 80-an, dia membantu Haji Nyomba, seorang pengusaha becak di Jalan Rappocini, yang masih punya hubungan keluarga dengan kami. Boleh dikata, Haji Nyomba, saat itu, merupakan juragan becak. Jumlah becaknya ratusan mungkin ribuan. Meski becak-becak sebanyak itu tidak disimpan di rumahnya. Haji Nyomba hanya mengeluarkan becak-becak pesanannya dari pabrik pembuatan becak. Nanti, setelah itu, becak dicicil selama 12 bulan oleh tukang becak. Bila lunas, becak dimiiliki sendiri oleh si tukang becak tersebut.
Tempat pembuatan becak di Makassar, saat itu, ada di beberapa tempat, yakni di Jalan Gunung Merapi, Jalan Sulawesi, Jalan Bandang, Jalan Sangir, dan di Jalan Kalimantan. Harga becak paling mahal itu yang produksi pabrik di Jalan Kalimantan. Satu unit becak dibandrol Rp350.000. Pabrik tempat pembuatan becak itu milik warga keturunan China. Menunggu becak dibuat itu tidak lama. Hanya sehari sudah kelar. Kalau pesan becak pagi hari, sorenya sudah bisa diambil. Untuk urusan perbaikan dan perawatan, becak tidak memiliki bengkel khusus. Perbaikan becak yang rusak biasanya dikerjakan juga oleh tukang sepeda. Itu pun paling pelleng (pelek) yang bengkok atau ban kempes/bocor. Pelek bengkok itu akibat menabrak tiang listriki atau masuk got.
“Saya dulu yang urus semuanya. Saya yang pergi ambil becak di tempat pembuatannya. Pernah saya lagi ada di Paotere, lalu disuruh ambil becak. Saya hanya mengurus becak baru. Kalau ada yang menunggak cicilan becaknya, saya juga yang datang menagih,” terang Nuhung.
Nuhung melanjutkan ceritanya. Katanya, dia sudah membawa becak ketika membantu Haji Nyomba. Dalam sehari, dia bisa mengantongi penghasilan sebesar Rp50.000. Diakui bahwa ongkos becak sekali jalan itu tidak tentu. Ada yang membayar lebih lantaran kasihan. Namun, rata-rata tarif becak saat itu masih Rp500-Rp1.000. Sebagai penarik becak, dia juga punya SIM (surat izin mengemudi) becak, Cuma dia tidak tahu di mana menaruhnya.
Ditambahkan, bahwa dia membawa becak tidak seperti orang lain, yang bekerja sejak pagi hingga sore, bahkan sampai malam hari. Itu karena dia punya penumpang tetap. Mirip pelanggan. Kalau dia sudah mengantar penumpang tersebut ke tempat tujuan, lalu menjemputnya kembali, setelah itu dia akan beristirahat. Jadi, ada saatnya dia keluar menarik becak dan ada saatnya dia beristirahat. Dia sama sekali tidak memaksakan diri untuk menarik becak sehari penuh.
Terkadang, Nuhung membantu temannya yang tidak punya becaknya. Dia kasihan bila temannya itu tidak bekerja. Sehingga, dia meminjamkan becaknya kepada temannya itu untuk dibawa mencari penumpang. Tidak ada kesepatan soal pembagian. Terserah temannya, mau memberi berapa pun dari penghasilan yang diperoleh hari itu. Kalau temannya dipinjamkan becak pagi hari, nanti sore baru dia ambil, sekalian bagi hasilnya.