Obituari Mahmoed Sallie (2-Habis): Saksi Tragedi To matoa

Mahmoed Sallie (keempat dari kiri, berkopiah)
Mahmoed Sallie (keempat dari kiri, berkopiah)

‘’Saya sudah baca kisah ‘Tomatowa, tetapi dalam kolom cerita pendek,’’ kata Pak Atik ketika suatu saat bertemu saya.

Setelah ditinggalkan Pak Atik Kalumpang tak lagi terisolasi. Sudah ada jalan darat ke sana. Juga, sudah ada perusahaan tambang yang mengeksplorasi potensi emas di Kalumpang.

Suatu hari Pak Atik bertemu saya di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng, Jakarta. Dia mau ke Makassar juga.

‘’Saya selalu bawa tulisan Anda yang berjudul ‘Emas Kalumpang, Tertua di Asia Tenggara’,’’ kata Atik Sutedja sambil tersenyum dan memperlihatkan satu map yang berisi tulisan saya itu.
Lama sekali, teman-teman wartawan putus komunikasi dengan Pak Atik. Soalnya, dia menikmati masa-masa pensiunnya di Tanah Parahiyangan, Bandung, Jawa Barat. Tak ada teman wartawan pioner Kalumpang yang tahu Pak Atik meninggal dunia beberapa tahun silam. Mereka sedih sekali, ketika Agus Sumantri (alm.), putra almarhum di Biro Humas Kantor Pemda Sulsel memberi tahu bahwa ayahnya sudah berpulang ke pangkuan Ilahi Rabbi. Inalillahi wainna ilaihi raajiun.

BACA JUGA:  Abdillah M.Saleh,S.Pd. Lepas Sertifikasi Demi Hutan Lestari

Dibujuk Jadi Humas

Tak hanya Abdullah Suara yang mengajak Mahmud Sallie menjadi staf Humas Pemkab Luwu, tetapi juga Drs.H. Iskandar Susilo. Itu gara-gara Machmoed tampil sebagai juara II Lomba Penulisan Koperasi dan KB se-Sulsel tahun 1984 yang dilaksanakan BKKBN Sulsel dengan Kanwil Koperasi Sulsel. Menerima tawaran itu, Sekretaris Dewan Mahasiswa UMI (1966-1969) ini lagi-lagi menolaknya.

‘’Saya mengatakan bahwa saya ini terlanjur mencintai dunia kewartawan. Sudah sulit bagi saya meninggalkan dunia yang menawarkan banyak tantangan ini,’’ begitu alasan lelaki bertubuh ceking dengan rambut tersisir rapi ini, waktu itu.

Ini sengaja dia ungkapkan guna membuktikan bahwa hanya dengan kesungguhan, niat yang luhur, dan ikhlas seseorang mampu menjadi wartawan yang sesungguhnya. Walaupun Machmoed sadar, dia bukanlah wartawan profesional atau wartawan yang hebat.

Dia hanya bagian kecil dari wartawan yang belum punya arti dalam dunia kewartawanan.

Anggota PWI Cabang Sulsel sejak 1982 dan Pengurus PWI Cabang Sulsel (1999-2006) ini melihat dunia kewartawanan itu, bukan hanya sebagai profesi, melainkan juga tempat beribadah yang sangat mulia dan sangat indah untuk digeluti sepanjang seseorang selalu berpikiran jernih. Dia rasakan itu sebagai sebuah jalan hidup dari Tuhan.

BACA JUGA:  KEBANGKITAN KEARSIPAN SULSEL, STAGNANISASI SRIKANDI (MOMENTUM HARI KEARSIPAN)

Majalah Akselerasi yang sejak awal terbit sebulan sekali, sudah menjadi bagian terpenting dari perjalanan hidupnya. Itulah sebabnya dia memohon SIUPP baru untuk majalah ini pada Menteri Penerangan RI sejak tahun 1999. Di majalah itulah, hingga kini lelaki yang pernah studi banding ke Malaysia ini menjabat Pemimpin Redaksi.