Obituari Mahmoed Sallie (2-Habis): Saksi Tragedi To matoa

Mahmoed Sallie (keempat dari kiri, berkopiah)
Mahmoed Sallie (keempat dari kiri, berkopiah)

Kembali ke kisah rombongan wartawan yang bermalam. Masih pagi sekali rombongan sudah mulai berjalan lagi. Naik turun gunung melalui jalan setapak yang licin. Rombongan yang dipimpin Djamaluddin Lolo, termasuk yang pertama tiba di Kalumpang. Rombongan Pak Atik, kemudian dijemput oleh empat wartawan yang sudah tiba lebih dahulu. Rombongan bupati juga mengikuti jalan setapak yang dilalui Machmoed dkk.

Ibu kota Kecamatan Kalumpang ini benar-benar terisolasi. Hubungan komunikasi hanya melalui air, mengandalkan katinting’. Komunikasi informasi satu-satunya adalah menggunakan Single Side Band (SSB) langsung ke Kota Mamuju.

Pak Atik ngotot membawa wartawan ke Kalumpang karena pertama kali seorang pejabat bupati berkunjung ke daerah kaya emas ini. Di kantor bupati, setiap ada tamu yang berkunjung, Pak Atik selalu bangga memperlihatkan bongkahan emas mentah yang belum diolah yang bersumber dari Kalumpang. Emas itu hasil dulangan dan pertambangan tradisional penduduk di Kalumpang.

Selain emas, di kecamatan ini terkenal dengan kain sekomandi yang mahal harganya. Terbuat dari serat-serat kayu yang kuat dan diberi warna dari getah kayu. Kain ini memiliki daya tahan yang cukup lama. Harga kain ini juga mahal.

BACA JUGA:  Raodatul Jannah dan Warna-Warni String Art Bergaya Pop-Art

Pada malam hari, ada acara ramah tamah dengan masyarakat setempat. Pak Atik memberikan sambutan. Tak lupa, para wartawan yang mendampingi perjalanannya dia perkenalkan.

‘’Inilah wartawan-wartawan pioner dan pertama menginjakkan kaki di Tanah Kalumpang ini,’’ seru Pak Atik Sutedja, setelah memanggil seluruh wartawan yang mendampinginya berdiri di belakangnya.

Machmoed dkk terharu juga menginjakkan kaki di tanah perawan tersebut. Pada ujung acara, Machmoed sempat membacakan sebuah puisi yang dia gubah ketika tiba di Kalumpang. Dia sendiri lupa judulnya.

Tapi, intinya menggambarkan kepioneran Pak Atik Sutedja dan teman-teman wartawan, potensi daerah yang berhasil dijejaki dan jarang dikunjungi pejabat tersebut.
Ketika tiba kembali di kota Mamuju, Pak Atik Sutedja berpesan pendek. Musibah di to matowa itu tidak usah ditulis, meski para wartawan menyaksikannya dengan mata kepala sendiri.

‘’Kalau wartawan yang lihat sendiri dan menulis, siapa lagi yang mau datang ke Tanah Kalumpang yang terpencil itu,’’ pesan Pak Atik Sutedja.

Saya tidak menulis musibah itu dalam laporan perjalanannya. Tetapi dia sunglap menjadi sebuah cerita pendek yang dimuat pada rubrik cerita pendek.

BACA JUGA:  Akses Pupuk Sulit, Rakyat Menjerit

Dia pikir, orang yang membaca akan memahaminya sebagai sebuah cerita fiksi, bukan fakta. Tapi ternyata, Pak Atik Sutedja sempat membacanya.