Uniknya, “Kamus Asal” yang dibuat Nasrul sangat kental konten lokalnya. Anak muda Makassar era 90an mungkin ingat pada stiker-stiker produksi Mawar Advertising, yang gaul dan gaya. Stiker hasil kreasi Mawardi itu, rada-rada mirip dengan permainan kata-kata Dagadu di Yogyakarta dan Joger dari Bali.
Seperti apa “Kamus Asal” itu? Ini sample-nya. “Sotta” dan kawannya. Sotta kini jadi sebutan kepada orang yang sok tahu. Pelaku sotta biasanya menjawab ataupun menjelaskan sesuatu dengan cepat, tangkas. Namun yang dijawab atau dijelaskan itu salah. Pernah pula digunakan “steja”, yang maknanya mirip dengan ini, menunjukkan kalau seseorang itu hanya stel jago. Sementara “bacrit” untuk orang yang banyak carita tanpa hasil. Selevel dengan “bacrit” ada “loca” alias lompo carita untuk orang yang hanya besar di omongan.
Contoh lain, yang ia tulis pada “Kamus Asal” adalah kata “Lece” (biasanya orang menyebut palece atau ni palecei, pen). Kata “lece” termasuk yang hampir hilang karena jarang lagi digunakan dalam percakapan sehari-hari di Makassar. Maknanya, “orang yang ingin dipuji”. Setelah itu orang mengenal kata “kapujiang” dan “pujiale”. Kedua kata ini juga terdengar sayup-sayup, setelah kata ‘talekang” mendominasi.
Pak Nas, memadukan kemampuan olah kata dan olah rasa jadi sederhana. Dia juga mendesainnya secara tematik dan menarik. Nah, desain tata letak memang keterampilan yang dipunya. Dalam bionarasinya, Pak Nas menulis bahwa desain grafis adalah hobinya. Logo Kampoeng Popsa merupakan salah satu karyanya. Dia pernah memenangkan sayembara pembuatan desain logo Sayur Sehat Takalar dan logo Konferensi Dokter Gigi Indonesia.
Pak Nas mantap bekerja di bidang desain grafis ini. Brosur, katalog, majalah hingga buku, entah sudah berapa banyak dibuat. Jangan tanya, berapa banyak spanduk dan flyer kegiatan yang lahir dari kerja kreatifnya. Ia bekerja tanpa gembar-gembor. Ia kru tak kentara yang berada di belakang layar sejumlah kegiatan.
Jika saya butuh spanduk atau backdrop untuk kegiatan, tinggal memberikan redaksi dan konsepnya, Pak Nas akan mendesainnya. Dengan ringan tangan dia akan mengerjakannya. Bahkan bisa diselesaikannya secara cepat. Karena dia punya jejaring ke percetakan, maka pesanan itu bisa diambil dalam bentuk jadi, tinggal dipasang di lokasi kegiatan.
Selain berkomunikasi lewat telepon dan WhatsApp untuk urusan pekerjaan, tak jarang saya ke rumahnya di Jalan Tanjung Pattiro untuk sekadar bersikaturahmi atau membahas buku yang tengah dikerjakan. Kadang pula kami mencari warkop yang tak jauh dari situ untuk ngopi dan membincangkan ‘proyek’ buku.