Momentum May Day: Ilusi Kesejahteraan Buruh Dalam Sistem Kapitalisme

May day oleh Laila Hidayati, Mahasiswi Fakultas Sastra, Universitas Muslim Indonesia
Laila Hidayati, Mahasiswi Fakultas Sastra, Universitas Muslim Indonesia

Dalam sistem kapitalisme satu hal yang lumrah ketika berbicara perekonomian, atau serupa materi maka segelintir orang pihak swasta menguasai aset, industri, alat produksi hingga perekonomian hanya berputar di kalangan para elit. Sistem ini semakin memperjelas kesejahteraan sosial selama masih menggunakan kapitalisme sebagai otak dari hukum maka menghapus kesenjangan yang digaungkan tiap tahunnya akan nihil, sulit terlaksana.

Terlebih, ketika melihat penguasaan kapitalisme (sistem yang memfokuskan segala sesuatu pada aspek materi) justru hanya menggantungkan nasib buruh atau para pekerja kasar maupun profesional pada pihak perusahaan. Negara justru menjadi penonton atau bahkan terlibat dalam pengambilan kebijakan yang tidak sesuai untuk kesejahteraan rakyatnya.

Pada aksi protes May Day yang berakar dari barat inipun rupanya tak pernah menjadi solusi pasti dalam menyejahterakan para buruh justru setelah momentum ini berlalu maka berlalu pula tuntunan tersebut, iming-iming kesejahteraan seolah menjadi penenang.

Selama sistem kapitalisme ini terus di biarkan memperluas cara pandangnya melalui hukum hingga penguasa yang bertumpu pada materi, sekat-sekat yang memperlebar perbedaan hingga langkah-langkah kita yang justru menjadi tunggangan kapitalisme maka kesejahteraan hanyalah ilusi.

BACA JUGA:  RAJUTAN BENANG SYAL PALESTINA

Padahal dalam regulasi Islam sendiri, tak ada kastanisasi atau antara pengusaha dan buruh ibarat tuan dan budak justru Islam melalui Al-Quran sebagai sumber hukum menjelaskan:

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan mizan (neraca, keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS Al-Hadid: 25).

Keadilan tersebut dapat dilihat dari antara pengusaha dan pekerja dipandang dalam level yang sama, yaitu sama-sama sebagai hamba Allah Taala yang wajib taat pada syariat-Nya.

Dalam buku Politik Ekonomi Islam karya Syekh Abdurrahman al-Maliki, seorang pekerja atau ajir adalah setiap orang yang bekerja dengan mendapatkan gaji baik dari pihak musta’jir (pengontrak kerja) itu individu, kelompok/perusahaan ataupun negara maka gaji (ujrah) bagi pekerja langsung diperoleh ketika dirinya telah mengerahkan tenaganya untuk ditukar. Tentu, upah yang diberikan seusai perjanjian awal (aqod) antara pengontrak kerja dan pekerja.

Dalam menentukan besaran upah pun, Islam sangat memperhatikan agar tidak ada unsur eksploitasi antara kedua belah pihak yakni besaran upah bagi pekerja harus ada standar yang menentukan nilai tenaga kerja yang ditukar. Untuk itu, penentuan upah ajir (pekerja) adalah berdasarkan nilai manfaat (jasa) pada tenaga yang diusahakannya. Ini karena manfaatlah yang menjadi tempat pertukaran, sedangkan tenaga dicurahkan hanya untuk mendapatkan manfaat.
Terkait ini, Rasulullah SAW. Menyampaikan:
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia mempekerjakan seorang ajir sampai ia memberitahukan upahnya.” (HR An-Nasa’i).