MENUJU ACARA SANG GURU BESAR

Nampak para peserta yang hadir di dominasi oleh mahasiswa dan sejumlah tokoh penting turut hadir antara lain Rektor Universitas Patompo, Dekan Fakultas sastra dan bahasa Indonesia Universitas Negeri Makassar. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar, nampak juga sejumlah Pengurus SATUPENA Sulawesi Selatan yang hadir: Maysir Yulanwar, Mohammad Muttaqin Azikin, Sekertaris SATUPENA Sulawesi Selatan, Bendahara SATUPENA Sulawesi Selatan dan tamu undangan lainnya.

Acara yang dimoderatori langsung oleh Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan Bapak Rusdin Tompo. Dan menjadi narasumber adalah Yudhistira Sukatanya dan Dr. Aslan Abidin. Kemudian, saat acara Soft Launching Novel Autobiografi Prof. Kembong Daeng dimulai, saya merasa sedikit terganggu oleh suara sound sistem yang tampaknya tidak bersahabat dengan acara yang begitu luar biasa ini. Volume suara yang tidak stabil, suara bass yang tinggi dan distorsi selain membuat suasana hati yang tidak nyaman, dan pikiran menggerutu juga memberontak ingin rasanya pergi memperbaiki suara sound sistem itu.

Namun disadarkan oleh perasaan bukan tuan rumah dan bukan panitia nanti apa kata panitia dan tuan rumah pada saya. saya juga merasa khawatir bahwa pesan-pesan penting dari apa yang nanti disampaikan oleh Prof. Kembong Daeng sebagai penulis dan para narasumber tidak akan tersampaikan dengan baik kepada kurang lebih 200 peserta yang hadir termasuk saya.

BACA JUGA:  BUDAYA MEMBACA, MEMBACA BUDAYA: MENGEJA ZAMAN?

Meski suara sound sistem yang tidak bersahabat itu, Pengantar kata Prof. Kembong Daeng, begitu menginspirasi dan menggugah hati kecil saya yang paling dalam. Prof. Kembong menceritakan bagaimana kisah hidupnya dengan penuh semangat, pengorbanan, dan tekad. Meskipun ada cemoohan, ejekan dari orang juga ada hambatan teknis, pesan-pesan yang disampaikan oleh Prof. Kembong Daeng.

Prof Kembong Daeng mengungkapkan pengalaman perjalanan hidupnya yang dilalui mulai dari sejak SD hingga menikah dan meraih gelar guru besar. Prof Kembong mengungkapkan bahwa perjalan tersebut penuh warna, penuh liku-liku, dan penuh dengan kisah-kisah yang patut diabadikan.

Prof. Kembong dengan suara tenang dan penuh keyakinan, ia mengungkapkan, “Kalau kita punya kenangan atau kisah, maka tuliskan. Karena kalau cuma di cerita saja, akan mudah terhapus dan hilang ibarat mengukir di atas pasir. Tapi kalau ditulis, maka kenangan atau kisah kita itu akan abadi seperti mengukir di atas batu.”

Ungkapan sang guru besar bidang bahasa dan sastra itu menggema di seluruh aula. mengabadikan momen-momen berharga dalam setiap perjalan hidup kita, dan untuk memastikan bahwa pengalaman kita itu tidak akan hilang begitu saja. Saya teringat dengan pernyataan serupa dari Prof. Kembong di acara diskusi buku “Surat Cinta Untuk Suami” Karya Ibu-ibu Komunitas Anak Pelangi (K-Apel) yang digelar di pusat belajar K-Apel Lorong Daeng Jakking Kelurahan Parang Tambung. “Seseorang yang dapat menulis kisahnya, juga menulis apa yang menjadi idenya, termasuk orang yang mendapat petunjuk dari Tuhan” Kata Prof. Kembong.

br