“Syukur keduanya tidak sempat membuka lapisan pakaian yang menyembunyikan laptop saya,” ungkap Sarjan.
Kedua pembegal itu juga sempat melirik gawai (HP) yang dimiliki Sarjan. Namun mereka tidak tertarik karena gawai itu sudah tampak retak-retak. Tampak kumal.
“Mungkin mereka juga rasa kasihan lihat HP saya yang ‘kumuh’ seperti itu,” kenang Sarjan.
Sarjan mengisahkan, awal mulanya, kedua pria itu menanyakan, apakah Sarjan sempat melihat anak kecil. Sarjan menjelaskan, saya baru tiba di tempat itu. Mungkin mereka ingin memanfaatkan suasana sepi untuk melaksanakan aksinya dengan berpura-pura bertanya macam-macam. Sepintas, Sarjan curiga karena keduanya berbadan kekar. Bagus badannya, meskipun tidak terlihat ada tato. Rambutnya juga tidak gondrong. Hanya mengenakan celana levis dan jaket.
Tiba hari ketiga, kakinya mulai lecet. Setiap hari, dia berjalan mulai pagi hingga menjelang pukul 22.00 WIB. Jika sudah tiba waktu tersebut, dia memilih tempat di pinggir jalan untuk membaringkan tubuhnya. Karena jalan Pantai Utara (Pantura) banyak terdapat areal persawahan, di situ terdapat saung (pondok-pondok) kecil. Di situlah Sarjan melepaskan lelahnya hingga pagi. Jadi dia berjalan 18 jam sehari.
Untuk makan sahur, terkadang melahap roti dan biskuit yang dibawa. Itu kalau tidak ada warung tegal (warteg). Dia memilih jalur Bumi Ayu-Brebes . Ada juga lewat Yogya-Klaten. Di tengah jalan perjalanan, Sarjan sempat kehabisan duit.
Tapi masih ada kartu ATM yang dia manfaatkan untuk menarik uang transferan saudaranya kemudian. Jalur yang terasa cukup jauh dirasakannya adalah rute Ngawi-Madiun, meskipun hanya 34 km.
Setiap hari, Sarjan melintasi 3-4 kabupaten. Minimal 2 kabupaten. Sarjan mengakui, sehari dia bisa menempuh jarak 100 km. Bahkan bisa lebih. Ketika melintasi Subang (masih di Jawa Barat), cerita Sarjan, dia hampir dipatok ular kobra. Waktu itu boleh disebut masih sore. Antara pukul 18.00-20.00. Pinggir jalan masih terang.
Di daerah pertanian Jawa Barat inilah dia sempat bertemu dengan empat orang senasib dengan dirinya. Tetapi berbeda tujuan mudik dengan Sarjan. Ketiga teman senasib itu, mudik setelah diputus hubungan kerja (PHK) ada yang mudik ke Solo, Cilacap, dan Surakarta.
Meskipun demikian, bersama ketiga teman sependeritaan itu, Sarjan sempat nebeng kendaraan bareng. Kendaraan yang berbaik hati yang memberi tumpangan itu, jenis truk.
Jadi selama 10 malam perjalanannya, Sarjan tidur di pinggir jalan. Jika tidak di saung, ya di pos ronda. Pada hari kesepuluh perjalanannya, kantong Sarjan kempes. Kosong. Beruntung ada bantuan darurat dari saudaranya. Pernah pada saat tanpa uang sama sekali, sepanjang jalan, dia ‘mencari uang’. Caranya, matanya memelototi sepanjang jalan. Ada-ada saja uang kecil tercecer. Biasanya lembaran Rp 2000. Pernah dia mampu mengumpulkan hasil pelototannya ini sampai Rp 20.000. Uang itu dia pakai naik angkutan kota (angkot) antarkecamatan. Sempat tiga kali naik angkot dengan 20 ribu perak itu. Setelah uang habis, turun kendaraan. Jalan kaki lagi. Makan pun sehemat mungkin.