Mengenang Awal Reformasi 1998 Dari Ruang Rawat Inap Kutonton Presiden Berganti

Aktivitas menonton ini membantu saya bisa pulas lebih cepat dari biasanya pada malam hari. Kalau di rumah, saya biasa pulas setelah kembali dari Kantor Harian “Pedoman Rakyat”. Ya, antara pukul 01.00-02.00 dinihari.

Keesokan hari, 21 Mei 1998, seperti biasa, layar TV sudah menyala dan menyajikan berbagai perkembangan tanah air yang memang dalam keadaan genting oleh aksi demonstrasi mahasiswa yang sangat masif. Layar kaca didominasi oleh informasi tentang berbagai demo di seluruh daerah di Indonesia yang dilaporkan oleh para reporter TV.

Demonstrasi yang berlangsung hampir tiga minggu, mulai 4 Mei 1998 tersebut seakan-akan tidak menunjukkan titik akhirnya. Soeharto yang terpilih kembali untuk masa jabatan ketujuh pada Maret 1998 sedang menghadapi cobaan berat. Sudah 32 tahun dia memimpin negeri tercinta ini.

Di tengah ketidakpercayaan rakyat yang mulai menurun kepada Presidennya, perekonomian Indonesia juga mengalami pukulan berat sebagai imbas krisis keuangan yang melanda Asia tahun 1997.

Modal asing di Indonesia hengkang. Kurs dolar Amerika Serikat yang semula Rp 2,600 per dolar pada Agustus 1997 , meroket gila menjadi Rp 14.800 per dolar per Januari 1998.

BACA JUGA:  ABK TUNAGRAHITA DAN MATERI MENGENAL HURUF HIJAIYAH FASE “A” DALAM KURIKULUM MERDEKA

Perusahaan-perusahaan Indonesia yang meminjam menggunakan dolar buru-buru melunasi utangnya dengan mata uang rupiah yang dimiliki. Kelemahan ekonomi Indonesia ini dibarengi tingginya utang negara.

Upaya Soeharto dengan kampanye “Aku Cinta Rupiah” tidak membuahkan hasil.
Melihat kerusuhan yang marak terjadi, termasuk kasus Trisakti yang menewaskan beberapa mahasiswa, memantik Harmoko yang menjabat Ketua DPR RI dan loyalis Soeharto menyerukan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri tiga hari sebelum Soeharto benar-benar lengser.

Gara-gara sarannya itulah sehingga Harmoko dicap sebagai “Brutus”, mengacu pada Senator Romawi Marcus Junus Brutus yang membunuh paman buyutnya, Julius Caesar.

Pukul 09.00 WIB, Soeharto muncul di beranda Istana Negara mengenakan jas lengkap dan berkopiah hitam. Memakai kacamata dengan muka serius dan tegas, dia membaca naskah pengunduran dirinya, disaksikan B.J.Habibie, Wakil Presiden yang kelak menggantikannya, dan berdiri di sebelah kirinya. Habibie berdiri dengan pandangan menyerong dengan tangan kanan di atas terlipat di depan ujung jasnya.

Usai Soeharto menyampaikan pengunduran dirinya, B.J.Habibie berpindah tempat. Mengisi tempat di depan mikropon yang ditinggalkan Soeharto yang mundur beberapa langkah ke belakang.

BACA JUGA:  Prediksi Tiga Poros Kekuatan dalam Pertarungan Pilwalkot Makassar

Wajah pemimpin Orde Baru itu tampak sendu dan pasrah menerima kenyataan, saat mendengar Habibie mengucapkan lafal sumpah yang dibacanya dengan memegang sebuah map berwarna cokelat dinaungi kita suci Alquran kecil beberapa puluh sentimeter di sampingnya kirinya.