MENGAWAL PESAN PRESIDEN: MEMBENAHI BUMN, TAK MEMBURU TANTIEM, DAN FILOSOFI POWER OF GIVING

Tapi bagaimana dengan tulisan saya sebelumnya: “Yang Benar dan Yang Keliru dalam Keputusan Kontroversial Danantara”?

Tulisan itu tetap relevan, dalam menjelaskan pentingnya membedakan sistem one-tier board dan two-tier board di dunia korporasi dan BUMN di seluruh dunia.

Esai itu juga tetap berlaku untuk membedakan antara komisaris aktif dan pasif, sebagaimana konsekuensi dari sistem tata kelola yang berbeda.

Soal tantiem untuk komisaris yang diberikan kepada korporasi dalam sistem two tier board, itu adalah perspektif ilmu. Itu memang terjadi di banyak negara.

Tapi ketika presiden berkehendak menghapuskan tantiem bagi komisaris untuk mengelola BUMN, sebagai pihak yang ikut membantunya menang dalam pilpres 2024, dan meyakini aneka gagasan besarnya, tentu saya mematuhinya dan taat.

Perspektif presiden lewat keputusan Danantara adalah sebuah pilihan, yang juga kuat nilai public interest dan spirit pengabdian.

-000-

Jakarta, awal Agustus 2025. Di Istana Kepresidenan, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyampaikan dengan tegas:

“Presiden Prabowo Subianto ingin agar para komisaris fokus membenahi manajemen dan keuangan BUMN. Bukan untuk mencari tantiem atau insentif lainnya.”

BACA JUGA:  Visi Misi Penghijauan Tapi Kok Merusak Penghijauan

Pernyataan itu bukan sekadar pesan politik. Ia adalah ikrar moral.

Presiden melihat BUMN sebagai tulang punggung ekonomi bangsa.

Saat saya duduk di ruang kerja, membaca pernyataan itu, saya terdiam.

Saya tahu: saya berdiri di persimpangan antara idealisme dan kenyataan.

Di titik temu antara pesan dari atas dan suara dari dalam hati.

-000-

BUMN bukan sekadar entitas bisnis. Ia adalah perpanjangan tangan negara.

Setiap keputusan yang diambil harus berakar pada amanah publik.

Saya menerima pesan Presiden sebagai undangan spiritual. Undangan untuk meninggikan makna jabatan, dari sekadar kompensasi, menjadi jalan kontribusi.

Memanggul jabatan publik bukan hanya belajar memimpin, tapi juga belajar mendengarkan.

Suara publik adalah kompas, bukan gangguan. Jika ada yang belum tepat, pejabat publik tidak segan mengubah arah. Karena jabatan, sejatinya, adalah amanah yang terus diuji.”

Semoga tulisan ini menjadi ruang klarifikasi dan perbaikan. Karena bahkan dalam pengabdian, manusia tetap perlu bertumbuh.

Reformasi BUMN bukan sekadar restrukturisasi korporasi, melainkan revolusi mental kolektif.

BACA JUGA:  Gula Melejit, Rakyat Menjerit!

Di titik ini, komisaris, direksi, dan siapapun pejabat publik, harus menjadi katalisator yang mengubah paradigma “profit untuk diri” menjadi
“kesejahteraan untuk bangsa.”

Agar reformasi berjalan nyata, penguatan tata kelola BUMN harus diwujudkan melalui standar transparansi yang tegas, sistem pengawasan independen, dan pelibatan publik dalam evaluasi kinerja.