Membangun KKSS dengan Semangat Sirui Menre Tessirui No

Kkss
Ir. Hasbi Syamsu Ali, MM (Koordinator Expo PSBM XXV dan Mubes KKSS XII)

Oleh: Ir. Hasbi Syamsu Ali, MM (Koordinator Expo PSBM XXV dan Mubes KKSS XII)

NusantaraInsight, MakassarDALAM dinamika kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat, terutama dalam keluarga besar Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS), nilai-nilai kultural bukan sekadar hiasan warisan leluhur, melainkan fondasi utama dalam membangun kebersamaan dan solidaritas sosial.

Salah satu falsafah luhur yang patut menjadi pegangan moral kita hari ini adalah Sirui Menre Tessirui No’, yang berarti jika satu naik, yang lain tidak ditinggal. Ini adalah prinsip untuk bisa tumbuh dan berkembang bersama-sama tanpa ada yang ditinggalkan.

Falsafah ini mengandung pesan kemanusiaan yang mendalam, bahwa kita tidak boleh tumbuh sendiri, tanpa menarik yang lain untuk turut tumbuh.

Dalam organisasi besar seperti KKSS, prinsip ini menjadi landasan yang sangat relevan dan strategis untuk membangun kekuatan kolektif di tengah tantangan zaman, baik secara nasional maupun dunia global.

Sirui Menre Tessirui No’ bukan hanya soal empati, tetapi lebih dari itu: ia adalah bentuk komitmen aktif untuk memajukan sesama.

BACA JUGA:  Ada “Penumpang Gelap” di KM Leuser

Ketika satu orang atau kelompok berhasil dalam pendidikan, bisnis, jabatan, atau kontribusi sosial, maka keberhasilan itu harus membuka jalan bagi yang lain. Tidak boleh ada yang ditinggalkan, apalagi dilupakan.

Semangat ini menggeser cara pandang kita dari sekadar kompetisi ke arah koevolusi—bertumbuh bersama secara harmonis dan kolektif.

Itulah wujud konkret dari semangat “tabe’, sipatuo-sipatokkong”, budaya kita yang mengajarkan untuk saling menghargai dan mendukung dalam setiap langkah.

*Aktualisasi Nilai dengan Aksi Nyata*

Kita sudah akrab dengan nilai siri’ na pesse, yang mencerminkan harga diri dan empati. Begitu pula dengan sumangeq dan ininnawa—daya hidup dan hati nurani—yang menjadi sumber kekuatan kita untuk bertahan di tengah badai zaman.

Tapi semua nilai itu hanya akan menjadi cerita lama jika tidak kita hidupkan dalam keseharian. Sirui Menre Tessirui No’ adalah perpanjangan tangan dari nilai-nilai tersebut, tetapi dalam bentuk yang lebih aplikatif dan terukur.

Di sinilah KKSS harus hadir sebagai organisasi yang bukan hanya menjaga kebudayaan, tetapi juga menjadi motor penggerak kesejahteraan dan pemberdayaan.

BACA JUGA:  Catatan dari Gustal (1): Berwisata Laut Sembari Bernostalgia

KKSS hari ini harus tampil sebagai jaringan sosial yang tidak sekadar berhimpun, tetapi berfungsi—menjadi simpul penghubung antarwarga perantauan dengan berbagai latar belakang profesi, generasi, dan potensi.

Kita butuh sistem pendataan, pemetaan sumber daya, dan program-program yang mendorong capacity building bagi warga.