Ketika khutbah usai, saya tidak langsung berdiri. Saya duduk lebih lama, seolah baru selesai berdialog dengan diri sendiri. Saya merasa literasi bukan sebatas minat, bukan agenda program, bukan hobi. Ia adalah napas peradaban dan fondasi kewarasan jiwa manusia. Ia membuat manusia ingat dari mana ia datang, apa maknanya di dunia, dan kemana ia harus berjalan.
Keluar dari masjid, kami disambut angin Jakarta, gerimis tipis, dan polusi yang tidak pernah cuti. Tapi anehnya, batin saya terasa sangat sejuk. Istiqlal bekerja dengan cara yang sunyi yakni ia tidak hanya memberi ruang untuk sujud kepada Tuhan, tapi juga ruang untuk pulang kepada diri sendiri.
Di tengah riuh kota, saya merasa sunyi saya kembali ke tempatnya. Entah mengapa, saya merasa sedang belajar satu hal baru tentang peradaban, bahwa ia tidak dibangun oleh gedung-gedung tinggi atau hiruk-pikuk kota, tetapi oleh manusia-manusia yang mau membaca dirinya, sejarahnya, dan Tuhannya.
Dan pada hari itu, di Istiqlal, saya merasa telah membaca satu halaman penting dari buku perjalanan hidup saya sendiri.
*Rahman Rumaday*
Tangerang Selatan, 16/11/2025







br






