Khatib pada hari jum’at, tanggal 14 November 2025 yakni Dr. KH. M. Saad Ibrahim, MA, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Mendengar tema yang akan disampaikan dalam khutbahnya langsung membuat telinga saya siaga, bukan hanya karena khutbah selalu penting, tapi karena tema yang diangkat hari itu adalah sesuatu yang dekat dengan dunia literasi ruang yang belakangan ini sering saya geluti dan renungi. Saya ingin tahu yakni bagaimana seorang ulama memandang literasi sebagai fondasi peradaban? “Apa makna ‘Iqra’ dalam dunia yang semakin berisik ini?”
Temannya adalah “Islam dan Literasi dalam Membentuk Peradaban.”
Kalimat pertama sang khatib langsung mengetuk:
“Landasan literasi dalam Islam adalah kata pertama yang turun, yaitu Iqra’. Itu adalah panggilan teologis sekaligus imania.”
Saya menelan jeda. “Iqra’” >bacalah< ternyata bukan hanya instruksi untuk mengisi otak, tapi undangan untuk mengenali diri, membaca semesta, dan memahami Tuhan. Jalaluddin Rumi pernah menegur kita, “Ada suara dalam diri yang tidak menggunakan kata-kata. Dengarkanlah.” Khutbah ini terasa bukan ceramah teknis, tapi perjalanan menelusuri ruang batin.
Sang khatib lalu membentangkan lanskap sejarah. Ia menyebut Yunani kuno dengan tradisi filsafatnya Aristoteles, yang mengajari manusia untuk berpikir, bertanya, menggugat realitas. Ia menghubungkannya dengan Ibnu Sina, yang meramu filsafat dan kedokteran menjadi sintesis ilmu yang mempengaruhi dunia selama berabad-abad, keduanya mempengaruhi cara dunia membaca realitas.
Saat sang khatib menyebut nama-nama itu, saya teringat kalimat Aristoteles : “Mendidik pikiran tanpa mendidik hati adalah bukan pendidikan sama sekali.” Masuk akal kenapa literasi dalam Islam tidak pernah memisahkan akal dan iman.
Ya, benar, dalam tradisi Islam, akal dan iman tidak pernah dipisahkan. Keduanya adalah dua sayap yang membuat manusia bisa terbang.
Khatib kemudian menyebut Konstantinopel, kota yang menjadi pusat ilmu pada zamannya. Perpustakaannya dipenuhi manuskrip yang kelak menjadi bahan bakar lahirnya Eropa modern. *_”Tidak ada peradaban yang besar,”_* katanya, “tanpa kecintaan pada literasi.”
Saya terdiam. Apakah kita hari ini masih mencintai ilmu seperti dulu?
Lalu ia menyebut Alexandria. Perpustakaan legendaris yang menjadi simbol ingatan dunia. Saya sontak teringat Umberto Eco yang berkata, “Perpustakaan adalah bentuk ingatan yang paling kuat dari manusia.” Dan rasanya khutbah ini sedang memintal masa lalu dan masa depan dalam satu tarikan napas yang panjang.







br






