Lahan Contoh Penghijauan di Kec. Parado Bima (3): Bisa Jadi Pelajaran Hidup Bagi Warga

“Ekosistem hutan ini sudah kembali. Ini tidak lepas dari keterlibatan aparat TNI-Polri, Kehutanan, dan Tim Penanggulangan, Reboisasi. Saya terharu, bapak-bapak bisa langsung berkunjung ke Mada Nangga ini. Hanya satu usul saya, jalan ke lokasi percontohan ini kiranya perlu mendapat perhatian pemerintah,” ujar Junaidin berusaha menyembunyikan rasa harunya.

Jalan menuju ke lokasi lahan percontohan ini hanya berkisar 2 atau 3 km. Saat ini kondisinya terbatas dapat dilintasi kendaraan roda dua dan roda empat dengan fasilitas “4wheel drive’ dan berbodi tinggi.

Junaidin menyebutkan, dengan kondisi jalan seperti saat ini, saat pengangkutan ke lokasi, bibit yang ada di polibag jatuh berantakan dan bercerai berai. Terpaksa diperlukan waktu 1-2 bulan untuk memperbaiki lagi kondisi bibit agar bisa hidup.

“Oleh sebab itu, kami mohon kepada pemerintah agar memperbaiki ruas jalan ini. Lahan percontohan ini 85% sudah memperlihatkan hasil. Lahan ini sudah ditanami dan berproduksi selama tiga tahun,” kata Junaidin.

Suherman, Kepala Resor Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Parado menyatakan syukur, karena pada titik (hutan) lain yang sudah terbuka (gundul), seharusnya dapat dikelola (dihijaukan) seperti ini. Hutan itu harus berbeda dengan lahan milik. Perbedaan yang paling mudah bagi kita orang awam adalah jangan nomor satukan tanaman pangan. Sebab, komoditas kita ini namanya hutan harus ada ciri hutannya.

BACA JUGA:  Demo Anarkis: Menghancurkan Diri Sendiri

“Sekarang adalah eranya tanaman produktif. Di lokasi tiga kelompok ini, apa yang diharapkan itu sangat luar biasa. Tanaman ini kalau sudah berproduksi bisa diurus sendiri,” ujar Suherman.

Seperti diakui ketua kelompok, kata Suherman, dari tahun ke tahun produksinya terus meningkat. Misalnya dari 50 biji satu pohon, tahun berikutnya naik terus. Sehingga, nilai ekonominya pun akan semakin bertambah. Berbeda dengan tanaman pangan. Banyak maaf, berbeda. Biaya produksi tiap tahun naik, harga pupuk dan obat naik, biaya tenaga kerja naik, tetapi tetapi harga tanaman pangan statis, Bahkan turun. Pada satu sisi, kekuatan fisik kita sebagai pengelola, petani, kalau sudah berumur tidak maksimal lagi. Ada ‘aus’-nya. Kita tidak bisa melawan kodrat dan usia.
“Jadi harapannya, tidak ada kata terlambat bagi kita bahwa berbuat baik itu minimal, tidak bisa dinikmati oleh orang lain, tetapi paling tidak makhluk hidup yang ada di sekitar areal ini nyaman dan ‘mendoakan’ kita. Andaikan makhluk di sini rusak, dia akan datang ‘menjajah’ dan mendatangi kita di kampung karena alam dan habitatnya sudah dijajah manusia. Bukan tidak mungkin, suatu saat nanti monyet yang hidupnya di hutan, akan datang ke dapur kita mencari makan,” ujar Suherman.

br