Jenazah wartawan senior ini dimakamkan di Pemakaman Kristen Antang pada Rabu (27-11-2003) dalam upacara militer (karena sebagai penerima Bintang Mahaputra Utama RI (berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Panaikang), berdampingan dengan pusara istrinya yang meninggal dunia tujuh tahun sebelumnya. Jenazah Manuhua sebelumnya disemayamkan dua hari di rumah duka Jln. Cenderawasih I No. 12 Makassar.
Tokoh pers nasional penerima Bintang Mahaputra Utama RI (1996) ini dikenal sebagai seorang sosok yang karismatik dan profesional. Ia akan gusar jika di koran lain ada berita bagus, namun di korannya sendiri (Pedoman Rakyat) tidak ada.
Dalam kepemimpinan, ia memandang aset paling utama dari sebuah penerbitan pers adalah sumber daya manusianya. Oleh karena itu, selain memberikan yang terbaik bagi karyawan, ia juga mengupayakan kenyamanan kerja dengan membangun kantor Pedoman Rakyat berlantai empat.
Saat itu kantor harian Pedoman Rakyat termasuk paling besar di KTI.
Sebagai Pemimpin Redaksi Pedoman Rakyat (2003), saat Manuhua meninggal dunia, di mata karyawannya, Tete termasuk orang yang sering berlaku unik di kantor. Ia sering berdiri mengintai di belakang wartawan yang sedang menulis berita. Kalau ada kesalahan dia baru menegur.
“Pemimpin yang senang berburu binatang ini sangat akrab dengan karyawan dan wartawan. Tak ada sekat antara kami dengan dia,” tulis LKBN Antara mengutip keterangan saya.
Begitu pula menyangkut disiplin, Tete sangat peduli bahkan pertama kali kena stroke tahun 1991, ia tetap masuk kantor. Dalam rapat-rapat, tidak ada yang berani berisik, apalagi berdiskusi sendiri. Jika memimpin rapat, nyaris tak terdengar ada suara lain.
“Profesionalitas inilah yang hilang di kantor ini sekarang,” tutur saya kepada “Antara” waktu itu.
Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama mengenang Manuhua sebagai tokoh pers yang moderat dan independen.
“Sikap independen dan moderat yang menjadi ciri kategori koran-koran menemukan personifikasinya pada diri Lazarus Eduard Manuhua,” kata Jakob Oetama dalam buku Abdi Pers LE Manuhua: Dari Ambon Ke Makassar Untuk RI, sebuah buku yang diterbitkan tahun 1996 untuk menyambut 70 tahun usia Manuhua.
Dalam buku yang sama, Tribuana Said, tokoh pers lainnya, menyebutkan, “Pak Manuhua mempunyai rasa kebersamaan dan kesetiakawanan yang tinggi antarsesama pers.”
Sungguh disayangkan, hanya berselang empat tahun kepergian Manuhua, Harian Pedoman Rakyat yang berdarah-darah dia jaga dan besarkan, menyusul kepergiannya. Tiada. (M.Dahlan Abubakar, Makassar, 14 Agustus 2025).