Kota Pala Kota 1000 Kenangan

Kota dengan semboyan penuh makna itu yaitu :
Tungku melambangkan kehidupan
Tiga batu melambangkan relasi antara “kau”, “saya”, dan “dia”
Juga tiga batu melambangkan penyangga kehidupan sosial masyarakat, yaitu adat, pemerintah, dan agama

Fakfak kota 1000 kenangan, kota yang terletak di pesisir Papua Barat, kota tua yang memiliki jejak sejarah panjang sebagai simpul perdagangan dan peradaban pada masa kejayaan maritim Nusantara, kota yang menjadi pelabuhan penting dalam menjalin hubungan erat dengan Kesultanan Ternate, memperkokoh jejaring ekonomi dan budaya di wilayah timur Nusantara.

Juga Kota yang pada tahun 1898, Belanda menancapkan kekuasaannya disana, menjadikan kota Fakfak menjadi bagian dari strategi ekspansi kolonial di Papua.

Terhitung selama lebih dari empat dekade, bayang-bayang penjajahan mewarnai kehidupan masyarakat hingga pecahnya Perang Pasifik. Kemudian pada 1 April 1942, Detasemen Pertama Jepang mendarat di Fakfak, menandai babak baru dalam sejarah kota ini di bawah pendudukan Jepang. Pergulatan sejarah ini menjadikan Fakfak bukan sekadar titik di peta, tetapi sebuah ruang di mana dinamika kekuasaan, perdagangan, dan perjuangan terus berkelindan dalam narasi panjang bangsa.

BACA JUGA:  EFISIENSI ANGGARAN PUSAT TIDAK BOLEH MENGHAMBAT PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DI PAPUA

Dalam percakapan kami, nostalgia berpendar, kenangan lama menyeruak, dan tawa pecah berulang kali, betapa waktu telah membawa banyak perubahan, tetapi ada yang tetap yakni perasaan hangat yang tidak luntur oleh jarak, energi kebersamaan yang tidak bisa dipindai oleh algoritma, tidak bisa digantikan oleh sekadar emoji atau pesan singkat lewat medsos.

“Ust Rahman (saya disapa ust padahal saya bukan ust bahkan saya menolak dipanggil ust di lingkungan komunitas di Makassar) masih sukakah manisan pala?” tanya Ibu Ratmi dengan logat Papua yang khas. Pertanyaan sederhana, namun penuh makna, mungkin mereka khawatir, setelah sekian lama saya meninggalkan Fakfak, saya telah melupakan rasa yang pernah melekat di lidah dan hati.

“Masih suka sekali. Bahkan saya rindu dengan manisan itu,” jawab saya.

Alhamdulillah… Ibu Ratmi dan suaminya (ust Iswahyudi) tersenyum serempak, bahagia mendengar jawaban saya. Seolah tidak ingin membiarkan rindu itu hanya berupa kata-kata, ibu Ratmi bergegas masuk ke dalam rumah dan kembali dengan plastik hitam di tangannya.

BACA JUGA:  Akan Kubawa ke Mana Cinta Ini?

“Ini ada sedikit manisan pala yang kami bawa dari Fakfak, siapa tahu dengan memakan manisan pala, rindu sama Fakfak dan bisa pulang ke Fakfak,” katanya sambil menyerahkan bungkusan itu kepada saya.

Ah, Fakfak. Kurang lebih 22 tahun saya meninggalkannya. Namun, seperti manisan pala yang tetap mempertahankan rasanya, kenangan tentang kota itu pun tak pernah pudar dalam ingatan saya.