KHOTBAH FILSAFAT HIDUP LEWAT LAGU

Bob Dylan, seperti yang selalu ia lakukan, tetap menjadi misteri. Seorang pengembara dalam musik, seorang penyair tanpa peta, seorang pemberontak yang bahkan tidak tahu apa yang ia tentang.

Dan mungkin, justru karena itu, ia akan selalu abadi.

-000-

Jika Dylan adalah filsuf, maka lagu-lagunya adalah kitab suci jalanan.

Dalam film ini, banyak lagu Dylan yang dinyanyikan. Tapi saya hanya ingin membahas satu lagu saja: Like A Rolling Stone. Frasa dari lagu inilah yang menjadi judul film A Complete Unknown.

Ini nyanyian yang menyingkap lebih dari sekadar melodi, melainkan juga filsafat hidup. Tak heran, lagu ini ditempatkan sebagai ranking pertama dari 500 lagu berpengaruh di dunia.

Lagu ini berkisah tentang pola hidup yang selalu berulang dalam peradaban manusia. Tentang mereka yang pernah berjaya, pernah berada di puncak dunia, menikmati segala keistimewaan. Tapi pada suatu hari, semua itu direnggut tanpa belas kasih.

Like a Rolling Stone bukan sekadar lagu. Ia adalah elegi bagi mereka yang jatuh dari singgasana, bagi mereka yang kehilangan nama, bagi mereka yang tiba-tiba harus berdiri sendirian di tengah jalanan yang asing.

BACA JUGA:  Lebih Dalam Prof Muhlis Madani, Waketum PGRI Sulsel Segudang Prestasi

Dylan memulai lagu ini dengan gambaran masa lalu yang gemilang. Ada seseorang yang dulu berpakaian indah, berjalan angkuh di jalanan kota, melempar koin kepada para gelandangan seperti dewa yang menurunkan belas kasihnya.

Saat itu, dunia seolah dalam genggamannya. Tak ada yang berani meragukan kekuasaannya. Ia tertawa ketika orang-orang memperingatkannya, menganggap mereka hanya orang bodoh yang tak mengerti takdirnya.

Baginya, keberuntungan adalah hak, sesuatu yang tak akan pernah pudar. Namun waktu, seperti biasa, memainkan perannya.

Hari-hari penuh kemewahan itu berakhir. Kini, ia tak lagi bicara dengan suara lantang. Tak ada lagi kebanggaan yang tersisa.

Ia harus berjuang hanya untuk menemukan sesuap makanan. Dulu, semua pintu terbuka untuknya. Kini, bahkan jalan pun terasa begitu asing.

Dylan lalu melontarkan pertanyaan yang menikam:

Bagaimana rasanya? Bagaimana rasanya berdiri sendiri, tanpa arah pulang, tanpa satu pun orang yang mengenalmu, seperti batu yang terus berguling tanpa akar?

Tidak ada tempat untuk kembali. Tidak ada tangan yang terulur. Dunia yang dulu mengeluk-elukkan namanya kini tak lagi peduli.

BACA JUGA:  Batu Palestina Inikah Maharnya?

Dulu, kau berpakaian begitu indah
Melemparkan sekeping koin kepada para gelandangan di masa jayamu.

Orang-orang memperingatkan, ‘Hati-hati, kau pasti akan jatuh’
Tapi kau pikir mereka hanya pandir.

Kini kau tak lagi bicara dengan suara lantang
Kini kau tak lagi terlihat begitu bangga
Saat kau harus mengemis untuk makanan berikutnya.”