Mereka bisa datang dari kelompok politik yang ingin memperkeruh, dari kriminal yang memanfaatkan situasi, dari para koruptor yang kasusnya dibongkar, atau bahkan dari oknum aparat bayangan yang menyalakan api kecil.
Dari percikan itu, kerumunan terbakar, dan yang pertama jadi korban sering justru mereka yang sama sekali tak bersalah.
-000-
Makassar, tanah Bugis-Makassar yang menjunjung tinggi siri’ (harga diri), telah lama melahirkan pelaut ulung dan pejuang pemberani.
Namun siri’ yang tak ditemani pacce (belas kasih) hanya melahirkan luka pada sesama.
Di jalan-jalan Makassar malam itu, kita menyaksikan wajah lain dari budaya perlawanan: solidaritas yang kehilangan kendali.
Setiap api membawa pesan. Dari Makassar kita belajar: keadilan tidak boleh ditegakkan dengan mengorbankan mereka yang lemah.
Protes sejati bukanlah membakar gedung, tetapi menyalakan nurani. Bukan melukai pegawai kecil, tetapi menggugat penguasa besar.
Kematian Sarinawati, Syaiful, dan Abay harus menjadi batu nisan yang berbicara: jangan biarkan amarah menelan mereka yang tak berdosa.
Seperti pepatah Bugis: “Siri’ na pacce, tolong-menolong demi martabat.” Siri’ tanpa pacce hanyalah api liar. Tetapi siri’ yang dibimbing pacce akan menjadi obor yang menerangi jalan bangsa.
-000-
Di atas abu Kantor DPRD Makassar, kita bisa memilih: membiarkannya jadi simbol kehancuran, atau menjadikannya monumen pengingat bahwa aksi rakyat harus diarahkan dengan cinta, bukan kebencian.
Sejarah sudah terlalu banyak menulis nama korban tak berdosa. Indonesia tak boleh menambah daftar panjang itu tanpa belajar.
Api Makassar harus kita ubah menjadi cahaya yang menuntun: bahwa protes boleh berkobar, tetapi nurani harus tetap terjaga.
Agar protes tak terjebak dalam anarki, diperlukan sistem mitigasi risiko sejak awal: pelatihan disiplin massa, pembentukan tim penjaga aksi damai dari internal demonstran, serta kolaborasi dengan aparat sebagai pengawas etika di lapangan.
Setiap pemimpin aksi bertanggung jawab memastikan pesan protes tetap pada tuntutan utama, bukan pada amuk massa.
Dengan pengelolaan yang matang, protes bisa menjadi wahana perubahan tanpa menambah luka baru. Ini sebuah mekanisme sosial yang sehat demi keadilan sejati.
Di Seoul (2016), 1,7 juta demonstran menuntut pengunduran diri pemimpinnya melalui aksi damai terorganisir: tim medis sukarelawan, sistem komunikasi hierarkis, dan negosiasi real-time dengan polisi.
Hasilnya: 0 korban jiwa, tuntutan tercapai. Model ini membuktikan bahwa disiplin kolektif dan transparansi kebijakan bisa mencegah eskalasi kekerasan.







br






