Keputusan Terbesar Dalam Hidupku

Tepat tanggal 28 November 2017, bapakku menghembuskan nafas terakhirnya.
Masa kecilku yang selalu bersama bapak seketika berakhir. Kehilangan bapak membuatku teramat sedih.

Karena itu, semenjak masuk SMA, aku benar-benar berubah. Aku yang dahulu tak mengenal rokok, minuman keras, nongkrong hingga pagi, tawuran, dan pacaran, sejak itu benar benar berubah. Hampir setiap malam, waktuku habis di tongkrongan, merokok, bahkan sesekali minum khamar hingga subuh. Dalam sepekan pasti ada alpa dan bolos dari sekolah.

Gara-gara itu, aku ditegur oleh kakekku. Laporan wali kelas menyampaikan bahwa nilai raporku anjlok. Ya, begitulah realitasnya. Aku hanya antusias ke sekolah jika ada berita perkelahian di sekolah.

Kurasakan, ada semacam pemberontakan dalam diriku. Aku tidak bisa menerima kenyataan atas kehilangan bapak yang kucintai. Ditambah beban yang diemban sebagai bentuk tanggungjawab dalam membantu ibu demi mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Sebagai seorang anak nelayan, aku seperti mewarisi keahlian melaut. Lingkungan sosial secara turun-temurun membentuk diriku sebagai anak laut. Bila sore, selalu kuisi dengan melaut untuk sekadar mencukupi kebutuhan sehari-hari kami. Aku juga berkebun untuk membantu ibuku. Kini aku berperan sebagai seorang ayah.
[6/9 05.55] Rusdin Tompo: Walau harus kuakui, secara mental aku belum siap untuk mengemban semua tanggungjawab itu. Namun karena keadaan dan kondisi rumah, mengharuskan aku untuk siap melakoni kehidupan seperti ini.

BACA JUGA:  Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3) Dari Staf ke Posisi Puncak

Pada masa-masa itu, setiap malam, aku duduk di depan meja makan sendiri. Bukan karena kekurangan makanan untuk disajikan melainkan rasa kesendirian yang kualami. Meja makan yang dahulu ketika jam makan malam selalu ramai. Kini aku hanya duduk melahap makanan sendiri.

Kebiasaan yang dahulu selalu diajarkan bapak ketika jam makan harus makan bersama, kini hampir setiap malam aku hanya makan sendiri. Entahlah, semenjak bapak tiada, ibu dan adik adikku selalu sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Kondisi ini membuatku semakin rapuh.

Hampir setiap malam aku mengunci diri dalam kamar, menangis, menangis dan terus menangis. Seperti itulah caraku melepas lelah dan rindu pada bapak.

Mungkin kalian akan bertanya, bukankah bisa berbagi cerita kepada ibu atau teman? Iya, itu saran yang bagus. Cuma entah kenapa, aku sudah terbiasa untuk memendam semuanya sendiri. Bagiku, cara tuk melepas semuanya adalah dengan menangis.

Di sela-sela kesibukanku bekerja sekadar untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan membantu ibu di rumah, seorang teman menemuiku. Kebetulan waktu itu aku bekerja di kecamatan berbeda .