KEMARAHAN SETENGAH HATI DARI SULAWESI

Dukungan pada PRRI/Permesta pun menguap, sementara pemerintah pusat semakin menguat. Sejak itu, gerilya Permesta semakin terjepit.

-000-

Tetapi Harvey tidak berhenti pada statistik perang. Ia menuliskan wajah manusia yang tersisa.

Itu deskripsi desa-desa yang tinggal puing, anak-anak yatim yang menjadi gelandangan kecil di pasar, para istri yang menunggu kabar suami dari hutan.

Buku ini merekam bahwa Permesta bukan sekadar episode politik, melainkan tragedi sosial yang merenggut ribuan kehidupan.

Mengapa disebut “setengah pemberontakan”? Karena pada intinya, para pemimpin Permesta tidak ingin merobohkan Republik, hanya ingin memperbaikinya.

Tetapi idealisme itu pecah di lapangan: terbelah oleh perbedaan strategi, kepentingan personal, dan situasi internasional.

Setengah kesetiaan dan setengah perlawanan itu menjadikan Permesta tak pernah sepenuhnya revolusi, tetapi juga tak lagi sekadar kritik.

Akhirnya, jalur damai yang membuka pintu pulang. Pada 1961, melalui amnesti dan abolisi, banyak tokoh Permesta menyerahkan diri. Ventje Sumual, figur sentralnya, pun turun dari hutan.

Namun luka telah terlanjur dalam. Di Minahasa, di Kotamobagu, di Bolaang Mongondow, masih tersisa keluarga-keluarga yang tak pernah tahu di mana suami, ayah, atau anak mereka terkubur.

BACA JUGA:  Rahman Arge dan Pesan di Balik Kisah Peluru Nyasar

Itulah yang membuat buku Harvey penting: ia memberi kita pandangan ganda. Di satu sisi, sejarah militer yang faktual dan presisi.

Di sisi lain, kesadaran bahwa di balik istilah “pemberontakan” selalu ada wajah-wajah manusia yang hilang, menangis, dan terluka.

-000-

Namun, puisi Hamri hanyalah satu dari sekian banyak suara yang terangkum dalam buku Sulawesi: Jejak, Luka, Cahaya.

Buku ini adalah mozaik karya puluhan penulis Satupena Sulawesi. Ada esai, puisi esai, puisi, dan cerpen yang bersama-sama melukis wajah Sulawesi dengan warna luka sekaligus cahaya.

Di dalamnya, esai mengurai sejarah dan budaya: dari Dato Tiro di Bulukumba, aksara Wolio di Buton, hingga Gusung Tallang di Makassar.

Puisi esai merajut tragedi nyata: anak-anak yang kehilangan ayah di perang saudara, istri yang ditinggal suami di lubang tambang, remaja yang kakinya terputus oleh tsunami Palu.

Puisi menyalakan ingatan tentang pahlawan: Sultan Hasanuddin, Nani Wartabone, dan suara alam yang kian redup.

Cerpen menyelipkan drama harian: cinta di Danau Paisupok, atau guru pedalaman yang bertarung dengan sepi.

BACA JUGA:  Hutan Memprihatinkan, Provinsi NTB Baru “Bangun Tidur”

Inilah peta emosional Sulawesi: luka yang berdarah, jejak yang tertinggal, cahaya yang menyala.

Di antara retakan sejarah, ada kisah Lontara’ yang tak terbaca: seorang guru di pegunungan Maros mengajar anak-anak mengeja aksara kuno di atas pasir.