Mari kita lepaskan mereka dari sekat pasal dan prosedur. Lihatlah dari jendela jiwa bangsa:
• Abolisi ibarat menarik kembali panah sebelum ia menancap terlalu dalam.
Ia mengakui bahwa luka bisa muncul bukan hanya dari kesalahan terdakwa, tetapi juga dari proses yang mungkin cacat atau berlebihan.
• Amnesti adalah pelukan negara kepada mereka yang telah jatuh, namun diberi kesempatan untuk bangkit kembali.
Ia tidak menghapus masa lalu, tetapi membuka pintu bagi masa depan.
Keduanya bukan simbol kelemahan hukum. Justru sebaliknya, ia adalah puncak kekuatan hukum yang hidup—yang tak hanya menegakkan keadilan retributif, tapi juga merawat keadilan restoratif.
Indonesia bukan satu-satunya yang memilih jalan pengampunan.
• Di Afrika Selatan, Nelson Mandela dan Desmond Tutu membentuk Truth and Reconciliation Commission, memberi ruang pengakuan dan ampunan demi menutup luka apartheid tanpa menambah dendam.
• Di Amerika Serikat, Presiden Gerald Ford memberikan amnesti bagi penolak wajib militer di era Perang Vietnam—sebuah langkah damai setelah konflik panjang.
• Di Indonesia sendiri, Presiden SBY memberikan amnesti kepada eks kombatan GAM pada 2005.
Dari sana, tumbuhlah perdamaian Aceh yang masih bertahan hingga hari ini.
Setiap kali pengampunan diberikan, sejarah bertanya: adakah kebijaksanaan di baliknya, atau hanya kalkulasi kekuasaan?
Jawabannya jarang datang dari ruang debat politik. Ia lahir dari ruang batin bangsa yang bersedia memeluk luka.
-000-
Sebagian publik mungkin sinis. “Ini hanya barter politik,” ujar mereka. “Ini kompromi.”
Namun jika kita naik ke langit pikiran, kita akan melihat wajah lain: ini adalah upaya menjahit kembali bendera yang sempat koyak.
Mungkin tak sempurna, tapi ia langkah menuju pulihnya kepercayaan antar anak bangsa.
Prabowo, sebagai pemimpin baru di tengah dunia yang dipenuhi ketegangan—dari perang Ukraina hingga konflik Laut Cina Selatan, dari krisis energi hingga inflasi global—memilih menyalakan nyala kecil di tengah kabut: nyala rekonsiliasi.
Ia tahu, pembangunan hanya tumbuh di tanah damai. Dan damai hanya tumbuh jika luka masa lalu tak terus diwariskan sebagai racun.
Mungkin publik masih diam. Tapi di balik diam itu, ada gema harapan: bahwa negeri ini sedang belajar menyembuhkan, bukan menambah luka.
Bahwa yang menyelamatkan republik bukan tangan yang mengepal, tetapi tangan yang terbuka.
Abolisi dan amnesti adalah perangkat hukum. Tapi sesungguhnya, yang diuji bukan hanya konstitusi, melainkan jiwa kolektif bangsa ini.
Apakah kita cukup bijak untuk tidak larut dalam balas dendam?